Kamis, 12 Oktober 2017

Tao Toba, Sekeping Surga Jatuh di Bumi

Kalimat tersebut sepertinya tidaklah berlebihan untuk menggambarkan keindahan Danau Toba di Sumatera Utara. Kalimat itu jugalah yang dijadikan tagline dan branding untuk mempromosikan Toba. Cuaca yang dingin, sepoi-sepoi angin diatas kapal, riak air yang terbelah, dan pemandangan bukit hijau ditengah kaldera Toba.
Terinspirasi dari keinginan kuat seorang kawan akan tanah leluhurnya, disinilah kami pergi menjelajah danau diantara perbukitan yang indah. Kawanku adalah seorang setengah Batak yang hampir tidak pernah menjejakkan kakinya di tanah ini. Yang sering kudengar cerita darinya hanyalah bagaimana opungnya yang lahir di perkampungan suku Batak, mencuci pakaian di Danau Toba. Mendengar bagaimana senandung lagu-lagu Batak hanya untuk mengingatkan pada diri sendiri bahwa ia masih punya darah itu. Meski tumbuh besar jauh dari tempat itu, kerinduan akan kunjungan ke kampung halamannya tidak pernah sirna. Berbekal keinginan kuat darinya dan pergilah kami ke tanah yang sering ia sebut Tao Toba.
16 Agustus 2017
Penantian Sepanjang Perjalanan
Pagi yang cerah ini kami mulai perjalanan dari rumah menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Dengan mata yang masih setengah mengantuk sembari bersemangat, kami harus mengejar penerbangan pukul 05.00 WIB. Tiba tepat waktu di bandara, kami langsung check-in di counter Citilink sebagai mitra penerbangan kali ini. Barang bawaan memang tidak banyak, hanya diatur untuk perjalanan selama 4 hari. Kawanku yang suka foto, membawa peralatan kameranya lengkap dengan tripodnya. Saat pengecekan barang, ternyata tripod tidak boleh dibawa ke dalam kabin pesawat. Kata petugas AVSEC bandara, tripod harus dimasukkan ke dalam bagasi karena diindikasi dapat melukai seseorang.
Bersemangat ingin mendapatkan foto sunrise dari atas langit, kami mencoba mencari tempat duduk yang strategis. Pilihan kami jatuh pada tempat duduk di bagian kiri pesawat di belakang sayap. Saat matahari terbit sudah mulai muncul malu-malu, ternyata kami salah memilih tempat duduk. Matahari ada di sebelah kanan pesawat sembari memancarkan semburat merah. Gagal sudah rencana kami mendapatkan foto matahari terbit yang bagus.
Foto diatas Pesawat
Perjalanan dari Jakarta ke Medan memakan waktu sekitar 2 jam 20 menit. Selain dari Medan, sebenarnya pelancong ke Samosir bisa langsung menuju Bandara Silangit. Tapi mengingat budget kami yang rendah, dan ingin menikmati perjalanan darat, kami memutuskan untuk mengambil rute ke Bandara Kualanamu. Saat akan mendarat di Bandara Kualanamu Medan, kami disuguhi pemandangan indah bukit barisan dan gugusan pegunungan Sumatera Utara. Dibawah berjajar rapi tanaman sawit lengkap dengan kanal-kanal sebagai pengairannya. Kata orang, sawit merupakan tanaman yang menyerap banyak air. Lama kelamaan cadangan air di Sumatera bisa habis oleh kebun sawit. 
Kami mendarat di Bandara Kualanamu sekitar pukul 07.30 WIB. Dengan keadaan perut yang lapar, kami mencoba mencari makanan khas Medan yang ada di sekitar bandara. Ternyata pagi hari di bandara Medan sangat sulit mendapatkan makanan yang enak. Hanya ada beberapa makanan impor yang buka, dan dengan sangat terpaksa kami harus makan demi mengganjal perut yang lapar.  Selesai sarapan, kami pergi ke travel umum yang akan mengantar kami ke Danau Toba. Travel tersebut bernama Nice Trans (0812-6425-0898) yang melayani rute Medan-Kualanamu-Parapat (Danau Toba). Mobil travel Nice Trans berupa mobil sedan berpelat kuning yang dapat memuat 5-7 orang penumpang. Travel ini dapat langsung dipesan di pintu keluar bandara tarifnya adalah Rp. 80.000/orang yang berangkat tiap satu jam sekali. Dengan adanya travel ini sangat mempermudah perjalanan menuju Parapat. 

Perjalanan darat menuju Parapat melewati jalur Kualanamu-Lubuk Pakam-Tebing Tinggi-Pematang Siantar-Parapat ditempuh selama kurang lebih 4-6 jam. Kami berangkat sekitar pukul 09.00. Lamanya perjalanan bergantung pada kondisi lalu lintas sepanjang perjalanan dengan kondisi jalan yang cukup baik. Supir travelnya juga tidak ngebut saat membawa kendaraan sehingga perjalanan cukup menyenangkan. Selama perjalanan, banyak hal yang dapat dilihat mulai dari keramaian kota lintas Sumatera, perkebunan sawit, durian medan, dan yang paling banyak disepanjang jalan adalah BPK dan Lapo Batak. Berjam-jam di dalam mobil membuat kami bosan juga. Setelah 4 jam perjalanan, mulailah kami memasuki kawasan hutan dengan vegetasi yang cukup lebat sebagai tanda kami sudah masuk kawasan Geopark Toba. Pertama kali yang terlihat saat kendaraan kami sudah dekat dengan Parapat adalah menawannya danau Toba. Danau Toba adalah danau terluas di Pulau Sumatera, dimana ditengahnya terdapat Pulau Samosir. Dari kejauhan sudah terlihat birunya danau dihiasi dengan perbukitan savana hjau kecoklatan. Kalau kata kawanku, seperti raksasa yang sedang tidur lelap, terlihat tenang, damai, tanpa kita tahu dia akan bangun ataupun mengamuk. 
Foto Peta Jalur
Foto Nice Trans

Sebenarnya untuk menyeberang ke Pulau Samosir, ada banyak penyeberangan di Parapat. Yang terkenal adalah 2 lokasi penyeberangan yaitu Ajibata (Parapat) menuju ke Tomok (Samosir) dan Tigaraja (Parapat) menuju ke Tuk-Tuk (Samosir). Penyeberangan di Ajibata Parapat menggunakan kapal ferry yang cukup besar dan dapat memuat kendaraan seperti mobil dan motor masuk ke Pulau Samosir. Pelabuhan Tomok di Samosir juga merupakan pintu masuk utama ke Samosir dimana terdapat pasar besar, sentra oleh-oleh, Makam Raja Sidabutar, Museum Batak, Sigale-Gale. Tapi di Tomok, tidak ada penginapan yang berkelas seperti di Tuk-Tuk. Jika kita tidak menginap di Samosir, membawa kendaraan bermotor, sebaiknya pilihlah Pelabuhan Ajibata yang wisatanya lengkap. 
Namun, apabila kita merupakan wisatawan yang tidak membawa kendaraan dan ingin menikmati damainya Toba sambil menginap di Samosir, sebaiknya anda langsung menuju pelabuhan Tigaraja Parapat untuk bisa langsung sampai di Tuk-Tuk Samosir. Kapal ferry untuk menyeberang di Tigaraja juga sangat kecil dibandingkan di Ajibata. Di Tuk-Tuk kita bisa menikmati wisata penginapan karena hotel-hotel berkelas di Samosir rata-rata berlokasi di daerah ini. Bisa dikatakan Tuk-Tuk merupakan wilayah turis asing maupun lokal yang ingin berlibur di Danau Toba. 
Kami memutuskan untuk langsung menuju pelabuhan Tigaraja, mengingat tujuan kami merupakan wisata penginapan, dan kami tidak membawa kendaraan bermotor. Travel yang mengantar kami tiba di Pelabuhan Tigaraja sekitar pukul 13.00 WIB. Ternyata sampai di pelabuhan ini kami juga disambut oleh Pasar Tigaraja. Di pasar ini banya terdapat buah-buahan khas Toba seperti mangga udang, buah delima, pisang, kacang sihobuk, jeruk samosir. Saya tertarik dengan mangga udang samosir yang bentuknya sangat kecil. Ukurannya sebesar buah terong belanda, hanya saja bentuk dan rasanya tidak lain seperti mangga. Begitupun dengan buah delimanya, ternyata buah delima disini banyak yang keriput. 
Foto Pasar Tigaraja
Untuk menyeberang ke Samosir, kita tidak perlu membeli tiket penyeberangan. Tarif penyeberangannya adalah Rp. 15.000/orang dan dibayar saat diatas kapal. Kapal yang digunakan adalah kapal ferry kecil yang berkapasitas sekitar 30 orang. Di pelabuhan Tigarja ini tidak terdapat toilet umum dan petugas informasi penyeberangan. Sehingga kami memutuskan untuk menggunakan toilet masyarakat di sekitar pelabuhan yang memang diperuntukkan bagi wisatawan. Kondisi toiletnya memang tidak terlalu bersih tetapi cukup untuk saya yang sudah tidak tahan buang air kecil. Tanpa petugas informasi untuk penyeberangan, kami memberanikan diri untuk bertanya pada namboru pemilik rumah. Penyeberangan ke Tuk-Tuk berangkat setengah jam lagi sekitar pukul 13.30, sembari menunjuk kapal yang gilirannya berangkat. Nama kapalnya adalah Jogi. Kami putuskan untuk menyeberng nanti menumpangi Jogi. Sementara menunggu kapal yang akan berangkat, kami memesan makanan hangat dan ngobrol santai dengan Mamak Sinaga yang setiap hari berjualan makanan kecil di Pelabuhan Tigaraja. Kulitnya yang mulai menghitam karena terik sinar matahari, keriput di pelipis yang beberapa kali terlihat ketika ia tertawa. Meski begitu, tak pernah surut keinginannya untuk mencari rezeki demi menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil. Satu hal yang unik saat kami sampai di Parapat. Mamak-mamak Batak itu pasti akan bertanya. "Boru apa kau?". Awalnya saya bingung dengan pertanyaan itu, meski lama-kelamanaan mengerti maksudnya. "Dari mana asalmu?". Mau dari suku apapun, dari daerah manapun, mereka akan selalu setia menanyakan pertanyaan boru apa. Boru adalah sebutan marga apa untuk seorang perempuan suku Batak. Saat kapal kami akan beranngkat, Mamak Sinaga mengingatkan kami untuk segera naik. Ia juga harus menjajakan daganganya kepada penumpang kapal yang sudah masuk terlebih dahulu. Ternyata begitu, dagangannya dipikul, dengan senyum dan semangat ia menjajakan kepada wisatawan. Sebuah pengalaman yang berharga bisa bertemu dengan Mamak Sinaga, walau hanya dipersimpangan Tigaraja, kami terasa dekat dan bertukar pengalaman satu sama lain.
Foto Kapal Jogi
Kapal akan berangkat, entah bagaimana kawanku menanyakan uang koin. Untuk apa dia bertanya uang koin receh, toh disini kita sudah jauh dari pengamen Jakarta yang beringas. Ternyata di bawah ada anak-anak yang melakukan aksi berenang mencari koin yang dilempar wisatawan ke danau. "Kak.. lempar lagi. Lima ribu aja kak". Sayangnya kami memang tidak mempersiapkan uang koin untuk dibagikan ke anak-anak ini. Aksi yang tak pernah terlewat di dermaga manapun di Indonesia.

Perjalanan di kapal kami nikmati dengan sepenuh hati, merasakan semilirnya angin Toba diantara teriknya matahari siang. Suara mesin kapal membelah air danau, mengeluarkan busa yang panjang membentuk ombak. Dikejauhan bukit-bukit menjulang megah dan kokoh memancarkan warna hijau, coklat, biru, putih kabut. Kami berperahu selama 30 menit hingga sampai di Tuk-Tuk. Dermaga umum Tuk-Tuk memang tidak terlalu besar. Hanya ada dek beton yang menjorok ke danau dan beberapa ferry kecil yang parkir menunggu penumpang. Kami juga tidak turun di dermaga umum, tetapi langsung menuju Hotel Carolina, tempat kami menginap. Sebelumnya memang kami sudah reservasi dari Jakarta memesan kamar di hill Hotel Carolina. Petugas hotelnya yang mengarahkan kami untuk meminta ferry Tigaraja langsung mengantar ke hotel. Kebetulan hotel Carolina juga lokasinya sangat dekat dengan dermaga Tuk-Tuk dan berada di satu deretan hotel lain di Samosir. 

Foto Hotel Carolina
Foto Hotel Carolina 
Ternyata sesuai dengan ulasan di internet, hotel ini merupakan salah satu penginapan terbaik dengan view danau. Hotel Carolina menyediakan berbagai macam kamar tentunya dengan varian harga berbeda. Kami mengambil kamar yang termurah yang terletak di hill (bukit) seharga Rp. 275.000/kamar/malam tanpa sarapan (0625-451210/451100, 0812-65000-422 WA). Jika ingin sarapan ataupun makan malam, tamu dapat memesan langsung di restoran, atau via whatsapp (tidak ada jaringan telepon di kamar) dan harga makanan di hotel juga tidak mahal. Kamar kami berkapasitas 2 orang twin bed. Menginap di sini memberikan sensasi berbeda seperti menginap di rumah adat Batak, Rumah Bolon. Arsitekturnya dibuat semirip mungkin dengan Rumah Bolon lengkap dengan ukiran atau ornamen khas Batak. Kamar di hill menurut saya sangat luas untuk ukuran 2 orang. Lantainya terbuat dari kayu sehingga apabila kita menginjak seringkali menimbulkan bunyi. Seperti umumnya arsitektur rumah Batak, bagian atas digunakan sebagai tempat tinggal dan bagian bawah (kolong) digunakan sebagai tempat ternak. Begitu juga Rumah Bolon di hill ini, bagian bawahnya juga digunakan sebagai penginapan, sehingga satu rumah bisa memuat 2 kamar lantai atas dan bawah. Kebetulan kami dapat menginap di lantai atas sehingga tidak khawatir akan berisiknya lantai kayu. Fasilitas di dalam kamar standar dimana saat masuk kita akan disambut oleh Ulos Batak. Air mineral juga tidak lupa dan yang terpenting adalah kasur dan perlengkapan tidur. Kamar mandi juga cukup baik hanya saja memang di kamar yang paling murah ini tidak terdapat air panas (hot water). Lelah dan penat yang kami rasakan setelah menempuh perjalanan jauh terbayar dengan pemandangan Danau Toba dari jendela hotel. Rasanya damai, tenang, dan menyenangkan.
http://www.carolina-cottages.com/
Foto Kamar Tidur
Foto Kamar Mandi

Foto kamar dan kamar mandi
Kami memutuskan untuk menyewa sepeda dalam menjelajahi Toba sore ini. Harga sewa sepeda adalah Rp. 15.000/jam/sepeda. Karena kami berdua, maka kami putuskan untuk menyewa 2 buah sepeda. Baru mengayuh beberapa saat, kami sudah kelelahan akibat dari kebiasaan kami yang tidak pernah berolahraga. Hanya berjalan-jalan sebentar merekam pemandangan Tao Toba, kami memutuskan untuk pulang ke hotel lagi. 
Foto Pemandangan Tao Toba

17 Agustus 2017
Toba, Kombinasi Cantik Alam dan Budaya
Hari ke-2 adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Hari ini kami memutuskan untuk merayakan hari kemerdekaan dengan menjelajahi Geopark Toba. Itinerary perjalanan sudah kami bicarakan terlebih dahulu. Daerah yang ingin kami jelajahi hari ini adalah Tomok-Ambarita-Parbaba-Pangururan-Pusuk Buhit-Tele. Perjalanan kami di Tomok di mulai dari melihat pasar Tomok, Museum Batak, Makam Raja Sidabutar, dan Sigale-Gale. Kami memutuskan untuk menyewa sepeda motor di hotel. Harganya Rp. 80.000/hari sudah lengkap dengan bensinya.
Pagi itu cukup dingin. Udara dinginnya Samosir memang menusuk tulang. Semalam kami tidak mendapatkan makanan enak. Sehingga pagi ini kami bertekad untuk dapat mencicipi makanan khas Toba. Berhubung kawan saya merupakan seorang muslim, kami harus dapat mendatangi rumah makan yang menyediakan makanan halal. Ternyata di Pulau Samosir tidak sulit menemukan makanan halal. Diantara penduduk pulau ini, tidak sedikit juga yang merupakan masyarakat muslim. Asalnya juga beragam, ada yang Batak Muslim atau suku Jawa yang merantau. Meski tidak sulit menemukan makanan halal, tetapi kebanyakan rasa masakannya tidak terlalu lezat. Harganya juga terbilang mahal. Kami makan berdua dengan menu ayam dan ikan bisa mencapai Rp.60.000. Bahkan ada satu rumah makan yang menyediakan kami jus jeruk pahit. Kami bingung, karena dilayani oleh anak laki-laki yang menurut perkiraaan saya ia tidak bisa memasak ataupun menghidangkan makanan. Alhasil keluarlah menu baru jus jeruk pahit. Masakan halal di Samosir kebanyakan seperti makanan Padang yang berbumbu, santan, dan berminyak. Mungkin apabila wisatawan non-muslim yang berkunjung ke sini dapat mencicipi makanan khas Batak yang ada di Lapo.
Melupakan sejenak rasa makanan yang tidak enak, kami memutuskan untuk mengunjungi Makam Raja Sidabutar. Kunjungan ke makam ini merupakan kunjungan kami yang paling absurd di Toba. Bagaimana tidak? Saat kami masuk ke makam tidak ada penjaga ataupun pos informasi. Beruntung letak makam raja Sidabutar ini di perkampungan masyarakat dan sekarang digunakan sebagai pasar sentra oleh-oleh. Ada seorang mamak Batak yang memberitahu kami untuk menggunakan ulos yang disediakan di depan makan dan memberikan donasi seikhlasnya. Sistem masuk di semua makam, museum, dan kampung di Samosir ini menggunakan sistem donasi. Pengunjung dapat masuk dan melihat-lihat tidak dipatok tarif per rupiahnya.
Kami masuk ke makam yang sepi, kira-kira berukuran 4 x 5 meter. Karakteristik makam yang khas adalah terdapat beberapa makam raja beserta keluarganya dan didepannya terdapat ampiteater kecil tempat duduk-duduk pengunjung yang datang. Sibuk foto-foto dan mengamati makam, kami dikejutkan oleh seorang bapa tua yang sedang bersih-bersih menyapu di halaman makam. Kami senyum ke bapa itu, tapi ia tidak tersenyum sama sekali malah sibuk memelototi kami. Kami yang merasa diamati merasa tidak enak perasaan dan menyudahi aktivitas foto-foto lalu menuju pintu keluar. Sebelum keluar, kami di cegat oleh bapa tua tersebut dan mengisyaratkan kami untuk mengembalikan ulos dan meminta uang donasi kembali. Aku yang bingung dan takut langsung mengembalikan ulos dan memberikan selembar dua puluh ribuan. Bapa tua itu mengambil ulos kami dan uang donasi alu meletakkannya diatas makam yang diisi sesajen buah jeruk. Kami langsung keluar dan bingung se bingung bingungnya orang yang tidak mengerti.
Foto Makam Raja Sidabutar
Masih bingung dengan kejadian tadi, kami mengunjungi museum Batak yang letaknya tidak jauh dari Makam Raja Sidabutar. Museum ini tidak sulit ditemukan. Mungkin karena kami datang terlalu pagi, museum ini pun belum ada pengunjungnya. Kami masuk ke dalam disambut oleh seorang ibu berdaster hitam. Sepertinya memang pemilik museum ini yang dikelola oleh keluarga. Biaya masuknya pun juga hanya berupa donasi. Di dalam museum yang berupa rumah Batak ini terdapat alat musik tradisional, perapian/tungku, rumbi (tempat penyimpanan), senjata, boneka sigale-gale, dan koleksi lainnya. Museum ini juga menyediakan cinderamata berupa patung-patung dan ornamen Batak yang dapat dibeli oleh pengunjung. Ornamen yang wajib dalam sebuah rumah Batak adalah ornamen gorga. Masing-masing motif gorga mempunyai makna tersendiri. Biasanya motif gorga ini terdiri dari 3 warna yaitu merah, putih, dan hitam. Motif yang umum terlihat di setiap rumah Bolon yang saya jumpai adalah Gorga Boras Pati (menyerupai cicak) dan Gorga Adop-Adop (payudara). Maknanya adalah jika binatang cicak sering nampak maka panen akan melimpah, tanaman subur. Sedangkan payudara bermakna anak-anak penghuni rumah akan sehat dan pemilik rumah akan memiliki banyak keturunan. Ada banyak lagi makna ukiran gorga di rumah Bolon seperti motif harimau, matahari, yang sarat dengan filosofi kehidupan.
Foto Ornamen Museum Batak 

Foto Signage Museum Batak
Puas mengunjungi museum Batak, kami beranjak menuju tempat pertunjukan Sigale-Gale di daerah Tomok dengan berjalan kaki. Pertunjukan ini sudah dinanti oleh kawanku yang ingin manortor, menari tor-tor khas Batak. Memasuki huta (kampung) sudah dipasang tirai putih. Kami penasaran mengapa dipasang tirai putih, apakah ada kematian atau pernikahan atau acara lainnya. Ternyata pemasangan tirai ini bertujuan agar pengunjung dari luar tidak sembarangan masuk menonton tarian Sigale-Gale. Untuk ikut menari dan menikmati pertunjukan ini dikenakan biaya Rp. 5.000/orang dipandu oleh penduduk lokal. Langsung saja ajakan ini kami sambut, dimana kawanku langsung mengenakan atribut ulos dan ikat kepala sedangkan aku sibuk mengambil posisi untuk memotret. Tarian Sigale-Gale ini berlangsung sekitar 15 menit dengan musik Batak yang mengalun keras. Ada sekitar 3 jenis tarian berbeda yang dibawakan beramai-ramai. Saat itu kami bergabung dengan 6 orang wisatawan lainnya menari tor-tor. Selama musik mengalun, gerakan tangan penari khas manortor mulai menghipnotis. Ditambah lagi boneka Sigale-Gale dibelakang kami yang juga ikut menari. Boneka Sigale-Gale merupakan boneka anak Raja Batak yang meninggal dalam perang. Dahulu kala pulau Samosir dihuni oleh banyak huta (desa) yang dipimpin oleh seorang raja. Antara satu huta dengan huta yang lain sering berperang dan yang berperanglah anak raja. Ketika sang anak tidak berhasil merebut kemenangan, dan gugur dalam pertempuran sang raja sangat bersedih. Untuk mengatasi kerinduan akan anaknya tersebut, sang raja menugaskan pematung di kampung tersebut membuat boneka anaknya yang dinamakan Sigale-Gale. Konon, boneka ini dibuat persis menyerupai susunan tubuh manusia hingga mata, alis, lidah, jari-jari, dan bagian detail lainnya. Sang pembuatnya harus mencurahkan seluruh jiwanya untuk membuat boneka ini hidup. Tidak jarang pembuatnya bisa meninggal setelah menyelesaikan boneka ini. Dahulu, apabila ada pesta kematian, boneka ini akan menari sendiri sesuai dengan alunan lagu yang dimainkan. Tapi saat ini unsur mistis Sigale-Gale sudah jauh berkurang. Saat ini pertunjukan Sigale-Gale untuk wisatawan sudah digerakkan dengan alat oleh pemain boneka.
Foto Manortor

Foto Sigale-Gale
Cukup dengan wisata budaya, kami memutuskan untuk melihat-lihat suasana Pasar Tomok. Pasar Tomok didominasi pedagang oleh-oleh dan cinderamata seperti baju kaos Batak, ulos, daster motif gorga seperti toko oleh-oleh di Bali. Selain pasar oleh-oleh, kami sempat mampir ke pasar tradisional yang menjual bahan pokok, ikan, daging, bumbu rempah khas Toba. Yang sangat ingin kami cari adalah andaliman yang katanya hanya ada di Toba. Setelah bertanya kesana kemari di pasar yang pedagangnya tidak banyak, kami menemukan andaliman rempah khas Batak yang kami cari. Ternyata andaliman ini wanginya sangat menyengat. Bentuknya kecil-kecil berumpun seperti merica. Beberapa kali memang aku pernah makan sambal andaliman ini dan memang sangat enak. Kawanku membeli setengah kilo seharga Rp.15.000 untuk dibawa pulang. Katanya mamak penjualnya, andaliman bisa tahan hingga 5 hari diluar tanpa pendingin. 
Foto andaliman
Foto Suasana Pasar

Matahari semakin beranjak keatas menandakan kami harus segera pergi meninggalkan Tomok menuju Ambarita. Sehari ini, kami ingin bisa mencapai Menara Pandang Tele di Pangururan. Ambarita letaknya tidak jauh dari Tuk-Tuk, tempat kami menginap. Dari Tomok kami harus melalui Tuk-Tuk lalu singgah di Ambarita mengunjungi Huta Siallagan. Sekitar 30 menit dari Tomok, kami sudah sampai di Batu Parsidangan Huta Siallagan. Sama seperti huta (kampung) Batak lainnya, disini terdapat rumah Bolon yang berjajar rapi. Yang diperlihatkan dikampung ini adalah batu kursi parsidangan raja Siallagan. Di tengah kampung terdapat satu kompleks batu yang dipahat menyerupai kursi. Batu kursi ini terbuat dari lava vulkanik saat terangkatnya Pulau Samosir. Konon, disinilah sang raja mengadili penduduknya yang melakukan kejahatan. Apabila melakukan kesalahan yang terlampau berat, terdakwa bisa dipasung di bawah rumah Bolon milik raja. Mungkin disinilah cikal bakal keturunan masyarakat Batak yang biasanya bekerja di jalur hukum seperti menjadi hakim, pengacara, dan penegak hukum lainnya. 

Foto Huta Siallagan
Pukul 11.00 WIB kami sudah meninggalkan Ambarita menuju Parbaba. Lewat dari Ambarita menuju Simanindo cuaca dingin sudah mulai berkurang. Deretan bukit dan pegunungan digantikan dengan pemandangan danau yang seperti pantai. Di Simanindo juga terdapat satu perkampungan yang juga terkenal dengan  pertunjukan Sigale-Galenya. Kami memutuskan untuk tidak mengunjungi Huta Bolon Simanindo karena waktu yang sempit.
Sepanjang perjalanan, kami tidak henti-hentinya mengabadikan keindahan bukit dan danau Toba sementara kendaraan roda dua kami melaju. Banyak desa yang kami lewati hingga sampai di Parbaba. Selama perjalanan tersebut, kami melihat banyak makan di pinggir jalan. Kondisi dan luasan makam tersebut menurut saya tidak masuk akal, sangat besar. Bahkan lebih mewah makan daripada rumah penduduk di sepanjang jalan. Makam Toba ada yang berlantai 2, berbahan beton, lengkap dengan keramik sebagai penghiasnya. Mungkin inilah representasi masyarakat Toba akan kehidupan setelah kematian. Orang yang meninggal layak dimakamkan dengan baik untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengenang jasa mereka selama hidup. 
Foto Makam Toba
Parbaba merupakan wilayah danau Toba yang seperti pantai. Ambarita-Parbaba kami tempuh dalam waktu 1 jam. Untuk masuk pantai, kami dikenakan retribusi Rp 2.000/orang ditambah Rp.2000/motor. Pantai Parbaba ini merupakan sedikit daerah datar di tepian danau Toba. Di depan pantai sudah menjulang perbukitan. Fasilitas yang ada di sini juga cukup baik seperti tenda dan payung untuk berteduh, pedagang makanan dan minuman, bahkan ada wahana banana boat, pelampung, dan perlengkapan wisata air lainnya. Di tepi pantai terdapat tempat berfoto dengan ikonik love pasir putih Parbaba Samosir. Kami tidak banyak bermain di pantai ini karena pengunjung sangat membludak. Tepat pukul 12.00 kami memutuskan untuk makan siang di sebuah warung pantai. Mereka menyediakan makanan halal dan lagi-lagi seperti masakan padang. Rasa makanannya memang tidak terlalu enak tetapi cukup membantu disaat kami lapar. 
Foto Pantai Parbaba
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pangururan. Awalnya kami bingung antara Pusuk Buhit, Aek Rangat, dan Pangururan. Pemahaman awal kami bahwa untuk mendaki ke Pusuk Buhit harus melalui Aek Rangat. Bertanya pada penduduk lokal di pertigaan Pangururan, mereka juga bingung yang mana dinamakan Pusuk Buhit. Google maps pun tidak dapat membantu kami kali ini. Sampai di pertigaan Pangururan, artinya kami sudah meninggalkan daratan Pulau Samosir menuju ke daratan Sumatera. Perbatasan ini ditandai dengan jembatan kecil sebagai penghubung.
Foto jembatan
Berhenti sejenak, kami memutuskan untuk mengambil jalan ke arah kanan dari posisi kami saat ini. Itu artinya kami akan masuk ke daerah Aek Rangat Pangururan. Dalam kondisi panas terik matahari seperti ini kami tidak mungkin mandi air panas dan akhirnya hanya mengambil foto dari jauh. Kami bertanya pada penduduk sekitar untuk cara menuju Pusuk Buhit. Kami mengira awalnya untuk memulai pendakian ke Pusuk Buhit harus melalui Aek Rangat. Tapi ternyata jalur yang dilalui adalah melewati Desa Lintong. 
Foto Aek Rangat
Kami memutuskan untuk mencari daerah yang dinamakan Lintong. Berputar balik dari Aek Rangat kami menuju ke arah Tele. Baru berkendara selama 10 menit kami melihat ada jalan semen bercabang dari jalan utama tepat di signage danau Toba. Ada tulisan pendakian Pusuk Buhit tercetak dalam sebuah spanduk yang sudah usang. Kami mengambil jalur pendakian tersebut karena masih dapat dilalui oleh kendaraan roda dua. Awalnya jalanan meliak-liuk tajam dan masih bersemen. Di kiri kanan jalan hanya terdapat tebing dan jurang yang langsung mengarah ke Danau Toba. Jalanan ini membelah bukit. Lama keamaan jalan yang kami lalui berupa jalanan tanah berdebu dan kemungkinan besar berlumpur ketika musim penghujan. Jalanan yang kami lalui ini sangat licin dan berkerikil. Salah sedikit kami bisa langsung terjun ke Danau Toba. 
Foto Kondisi Jalan

Foto Jalan Menuju Pusuk Buhit
Berkendara selama 30 menit kami masih belum sampai juga di Puncak Pusuk Buhit. Beberapa kali kami bertanya kepada penduduk yang lewat ataupun anak-anak sekolah yang sepertinya ada kegiatan disana. Kami diberitahu bahwa di Desa Buhit desa terakhir sebelum memulai pendakian terdapat guide lokal untuk mengantar pendaki. Sampai di desa ini, kami membeli bensin untuk persediaan hingga bisa titik terakhir untuk bisa dicapai sepeda motor. Harga bensin disini cukup murah menurut kami hanya Rp.9000/liter. Untuk ukuran daerah yang cukup jauh dari jalan raya, harga ini bia terbilang murah. Kami menanyakan pendakian ke Pusuk Buhit kepada mamak penjual bensin. Kata beliau, "Mendakinya bisa sampai 3-4 jam hingga di puncak". Kami kaget dengan pernyataan mamak itu. "Banyak orang kira disini puncak dari Pusuk Buhit. Tapi sebenarnya bukan disini, tapi dibelakang itu" sambil menujukkan gunung yang menjulang megah di depan kami. Aku hanya tertawa  kaget mengatakan pada kawanku. "Hahahaha". Kalo ini sih kita harus kasi satu hari penuh buat mendaki". Akhirnya kami memutuskan untuk tidak mendaki puncak Pusuk Buhit. Padahal kami sudah membayangkan katanya Pusuk Buhit adalah tempat Si Raja Batak pertama turun. Bisa dikatakan disinilah cikal bakal dimulainya keturunan Batak. Katanya dipuncaknya kita juga dapat melihat keseluruhan Danau Toba.
Merasa cukup  dengan cerita mamak penjual bensin, kami putar balik menuju arah turun ke jalan utama. Di sepanjang jalan, kawanku dikejutkan oleh tanaman kopi yang sangat banyak. Ini adalah kebun kopi milik masyarakat. Sepertinya kopi Arabica. Kami memutuskan untuk turun dan menanyakan pada salah satu penduduk lokal yang di depan rumahnya sedang menjemur kopi. Baru kami bertanya sepatah kata soal kopi, mamak itu sudah bertanya. "Boru apa?" Lagi-lagi pertanyaan khas dari tanah Batak. Ternyata kopi yang ditanam merupakan kopi lokal yang sering disebut dengan kopi Lintong. Kawanku yang penggemar kopi awalnya ingin membeli kopi bubuk. Ternyata semua sudah dijual di Pangururan. Alhasil kami harus puas hanya dengan foto tanaman kopinya.
Foto Kopi

Meskipun tidak mendaki ke Pusuk Buhit, kami tetap puas dengan pemandangan danau Toba di sepanjang jalan. 
Foto Danau
Tujuan terakhir kami hari ini yaitu Menara Pandang Tele. Pangururan-Tele dapat ditempuh selama 1 jam dengan jalan yang berkelok-kelok. Cuaca di daerah ini juga tidak menentu kadang hujan kadang terik. Sampai di lokasi menara pandang, kami disambut oleh tugu menara pandang yang berarsitektur Batak. Dari atas sini kami dapat melihat kaldera Toba termasuk puncak Gunung Pusuk Buhit yang terlihat jelas. Selain itu dikejauhan tampak beberapa air terjun yang mengalir gugusan pegunungan dengan kabut dikejauhan. Kami sampai di sini sekitar pukul 15.00 WIB. Kawanku ingin menunaikan ibadah sholat tetapi memang tidak  ada masjid atau mushola disekitar sini. Akhirnya kawanku mengambil wudhu dengan air minum yang kami bawa dan sholat di salah satu sudut di area menara pandang. Meskipun agak sulit menemukan tempat beribadah, kawanku benar-benar semangat menjelajahi Toba. Sementara kawanku beribadah, aku sibuk merekam keindahan pemandangan Danau Toba dari atas.
Foto Menara Pandang Tele
Foto Pusuk Buhit dari Tele
Sekitar 1 jam kami masih berada di atas sibuk mengambil foto dan selfie. Hujan pun turun dengan cukup deras. Kami memutuskan untuk turun dan segera berteduh ke bawah. Dekat menara pandang ini terdapat toko suvenir yang menjual baju distro, gantungan kunci khas Toba. Hujan yang mengguyur dan cuaca dingin membuat kami memutuskan untuk segera pergi dan mampir di kedai kopi. Kami menemukan sebuah kedai kopi dengan pemandangan Danau Toba yang indah. Kawanku ingin memesan kopi Sidikalang, Siantar atau apapun tetapi sudah habis. Mungkin karena kami datang terlalu sore kopinya sudah habis. Sudahlah kami putuskan untuk minum teh saja ditemani kacang sihobuk. Minum teh sembari menikmati pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir memang sangat menyenangkan. 
Foto Menikmati Teh di depan Pusuk Buhit
Tujuan utama kami hari ini sudah tercapai. Kami memutuskan untuk pulang kembali ke Tuk-Tuk Samosir. Wah perjalanan yang sangat melelahkan sekaligus menyenangkan. Kami pulang sekitar pukul 17.00 WIB dari Tele. Pulang dengan puas telah menjelajahi apa yang kami ingin jelajahi. Sepanjang perjalanan kami melihat hal yang baru dan bercerita. Tidak lupa juga kami membeli durian Samosir di pertigaan Pangururan. Ternyata penjual durian yang kami lihat saat berangkat masih setia menanti disana. Kawanku yang penggemar durian nomor satu langsung memilih buah durian yang manis. Inilah oleh-oleh kami yang akan dinikmati sampai Tuk-Tuk nanti.

Foto Durian
Sepanjang perjalanan dihiasi dengan matahari sore terbenam yang mulai memerah, sunset. Teringat akan mama dirumah, kami mampir ke sebuah kampung ulos di daerah Pangururan. Tetapi kampung ini sudah dekat dengan Ambarita. Kampung ini terletak di daerah Simarmata tepatnya di Huta Raja, Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan Kecamatan Pangururan. Rencananya kami ingin membeli ulos untuk oleh-oleh. Banyak ulos yang warnanya cantik dan motifnya unik. Satu lembar ulos di banderol seharga Rp.200.000-Rp.500.000 untuk yang menggunakan benang kualitas super. Lama pengerjaan yang dibutuhkan bisa mencapai 2 minggu. Ulos yang kecil hanya untuk selendang dihargai sekitar Rp.50.000-Rp.100.000. Benang yang dipakai juga merupakan kualitas kelas dua. Buat kami yang bukan pencinta tenun tradisional, harga tersebut memang cukup mahal. Akhirnya kami mengurungkan niat membeli ulos di kampung ini.
Terlihat regenerasi yang baik di kampung ini dalam menenun ulos. Di sebuah rumah Bolon, terdapat anak berumur sekitar 14 tahun sudah mahir menenun. Bersama dengan mamaknya, ia menenun dengan penuh konsentrasi. Biasanya pekerjaan ini ia ambil setelah pulang sekolah. Kedatangan kami disini disambut oleh namboru penenun dari rumah lain di kampung ini. Seorang namboru Simarmata menawari kami ulos yang berisi tulisan HORAS. Meskipun sudah tua, hampir semua nenek-nenek yang kami temui lancar berbahasa Indonesia.  Kawanku yang mengaku sudah tidak punya boru, ditawarkan masuk boru Simarmata oleh namboru itu. Suatu sore yang penuh canda.
FotoTenun
Hari ini matahari sudah mulai tenggelam. Kami sudah banyak menemukan pengalaman baru yang tidak terlupakan. Kami mengendarai sepeda motor dengan perlahan dengan sejuta pikiran di benak kami masing-masing. Menikmati indahnya alam dan budaya masyarakat Toba, Indonesia.

18 Agustus 2017
Karo, Menaklukkan Ketakutan
Memulai hari dengan sarapan di Hotel Carolina adalah pilihan yang baik. Tempatnya bersih, makanannya enak, dan harganya murah khas traveler budget rendah. Dihari ketiga ini kami baru tahu kalau masing-masing kamar disediakan termos air panas dan dapat meminta ke restoran dan ambil kembali ke kamar. Haha.. kami lupa bukan hotel bintang 5 yang apapun dilayani oleh petugas hotel.
Di hari ketiga ini kami putuskan untuk kembali ke Parapat dan menginap disana. Hari ini kami ingin menjelajahi uniknya tanah Karo. Pagi-pagi kami sudah bersiap-siap untuk menunggu kapal yang akan membawa kami kembali ke Parapat. Di Parapat kami akan menuju hotel Melisa Parapat (0813-9223-6383). Penginapan ini terletak di pinggir Danau Toba hanya 5 menit berjalan kaki dari pelabuhan Tigaraja dan terdiri dai 4 lantai. Lantai 1 untuk parkir kendaraan pemilik penginapan, lantai 2 untuk tempat tinggal si pemilik penginapan dan yang disewakan hanyalah lantai 3 dan 4. Kami kebagian menginap di lantai 3 dengan kamar standar harganya Rp. 240.000. Penginapannya bersih, ada fasilitas tv, twin bed, kamar mandi, tanpa air panas (hot water). Berbeda dengan di Samosir, disepanjang jalan banyak penyewaan sepeda motor, di Parapat ini kita agak kesulitan menyewa sepeda motor. Beruntungknya kami sudah reservasi dari jauh-jauh hari sehingga pemilik penginpan mau menyewakan motornya seharian meski dengan harga yang lebih mahal yaitu Rp. 100.000/hari. Jangan lupa menyewa helmnya juga untuk 2 orang. Jika tidak menyewa terlebih dahulu, bisa-bisa kita tidak mendapatkan helm.
Foto Kamar Mandi
Foto Kamar Tidur

Sekitar pukul 10.00 WIB kami memulai perjalanan menuju Air Terjun Sipiso-Piso di Tongging, Kabupaten Karo. Perjalanan kami mulai dari Parapat melewati jalur lintas tengah Sumatera. Jalur ini cukup padat karena menghubungkan Medan dengan kota-kota di bagian barat Pulau Sumatera seperti Sibolga, Padang Sidempuan, hingga Bukitinggi. Sampai di pertigaan meuju arah Simarjarunjug, kami mengambil jalur kiri melewati jalan pinggir Danau Toba. Kata pemilik hotel, perjalanan menuju Sipiso-Piso akam kami tempuh sekitar 3-4 jam. Kami melewati hutan, perbukitan, hingga turun ke daerah dataran rendah pinggir Danau Toba. Ternyata pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir memang sangat indah diambil dari jalur ini. Ada satu titik tertinggi untuk menikmati keindahan Danau Toba dari puncak bukit, namanya Bukit Indah Simarjarunjung (BIS). Tempat sepertinya dikelola dengan baik karena terdapat berbagai macam bentuk wahana selfie dan menara pandang untuk menikmati Danau Toba. Sayangnya kami tidak mampir ke tempat ini takut tidak keburu untuk menikmati Sipiso-Piso. Ternyata setelah BIS masih banyak lagi tempat selfie lainnya yang dikelola oleh masyarakat setempat. Kami memutuskan untuk turun sebentar mengambil foto di beberapa titik selfie lainnya. Ternyata setiap kami mengambil foto dikenakan biaya Rp.5000/tempat selfie. Kami bingung karena tidak berniat untuk foto-foto lama di daerah tersebut. Daripada jadi bahan perdebatan, akhirnya kawanku merogoh saku untuk membayar si penjaga menara selfie. Kami bertekad untuk tidak turun lagi mengambil foto dengan handphone.
Foto Pemandangan di Simarjarunjung
Foto Deck Selfie berbayar
Lama-kelamaan jalan yang kami lalui sudah tidak menampakkan pemandangan Danau Toba. Keluar dari Simarjarunjung, kami sudah memasuki wilayah Saribudolok. Pertigaan ini ternyata juga bisa mengantarakan kami langsung ke Pematang Siantar. Karena hari sudah sangat siang, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di Saribudolok. Kami masuk ke sebuah rumah makan padang. Tempatnya cukup besar, luas, meskipun kurang bersih. Tapi untunglah sudah dapat menemukan makanan halal di sini. Makanan yang disajikan cukup enak dengan harga yang relatif murah sektar Rp 30.000-an untuk 2 orang. Berbeda jauh dengan di Samosir. Yang sangat sulit untuk ditemukan apabila berwisata di Danau Toba adalah mushola atau masjid. Beruntung sekali di daerah Saribudolok ini ada satu masjid yang entah kami tidak tahu lokasinya dimana apabila kami tidak bertanya pada pemilik warung. 
Siap makan siang dan menunaikan ibadah, kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Sipiso-Piso. Sepertinya akan memakan waktu 1 jam menurut perkiraanku di google maps. Benar saja setelah melewati perbukitan Karo, melihat kebun sayuran dan buah-buahan, kami sampai di pintu masuk Air Terjun Sipiso-Piso. Di pintu masuk, kami dimintai retribusi sebesar Rp 5.000/orang dan 1 sepeda motor. Jarak dari pintu masuk ke area parkir tidak terlalu jauh. Di area parkir ini terdapat WC, penjual suvenir, toilet, warung makan, dan fasilitas penunjang lainnya. Saat kami memarkirkan kendaraan di depan warung makan, kami dimintai Rp.5.000 untuk parkir sepeda motor. Okelah, yang penting sepeda motor kami aman. Dari area parkiran ini sebenarnya sosok air terjun Sipiso-Piso sudah kelihatan di kejauhan. Tingginya mungkin lebih dari 100 meter. Debur air yang jatuh dari ketinggian sudah terdengar sayup-sayup. Melihat jalur trekking yang lumayan menantang kami cukup bersemangat. Katanya butuh sekitar 1 jam untuk sampai di bawah. Begitu juga naiknya nanti butuh waktu sekitar 1 jam juga tergantung stamina dan kondisi fisik masing-masing. Jadi stamina, fisik, air minum, dan perbekalan harus disiapkan dengan baik. Jalur treking air terjun ini sudah dibuat dengan sangat baik. Pegangan di kanan kirinya, stepping stone berupa tangga yang sudah cukup baik. Meski ada beberapa titik yang tangganya tidak mauk akal dan memiliki kemiringan hampir 90 derajat. Ada beberapa loop trail (jalan pintas) yang dapat digunakan pengunjung. Yang sangat disayangkan adalah banyaknya coretan di sekitar dinding pada area trekking. Pasir di tangga yang rusak juga membuat jalanan kami agak licin.
Foto Air Terjun Sipiso-Piso dari kejauhan
Kami tidak berhenti untuk mengambil foto di setiap titik yang dirasa bagus. Kawanku mengatakan bahwa sekarang ia tahu dimana spot foto terbaik Danau Toba yang sering di posting oleh orang-orang. 
Foto Spot terbaik Danau Toba dari Sipiso-Piso
Sekitar 45 menit kami akhirnya tiba di bawah. Dari jarak 20 meter, hempasan air dari Sipiso-Piso sudah membasahi kami. Satu catatan yang harus diperhatikan apabila trekking ke air terjun tinggi seperti ini adalah jas hujan. Apabila tidak ingin kebasahan, bawalah pakaian anti air. Selain itu juga dapat membantu kita apabila cuaca tidak menentu terkadang panas terkadang juga hujan. Kami berdua turun bersama dengan anak-anak sekolah yang sedang tamasya. Jadi di lokasi air terjun cukup ramai. Mereka sibuk berlarian menuju air terjun sembari berteriak-teriak kepada temannya yang lain. Kami membawa kamera DSLR dan tripod untuk dapat mengabadikan air terjun ini. Setelah gear kami siap terpasang, barulah teringat di benak kami kalau DSLR kawanku akan terkena cipratan air. Kami seakan terhenyak dan kawanku meminta buff yang kupakai untuk melindungi kameranya. Jadi, cara kami mengambil foto dengan memanfaatkan arah angin. Apabila angin menuju kami, aktivitas foto dihentikan dan ketika angin berhembus ke arah lain barulah kami mengambil foto. Sulitnya mengambil nature fotografi. 
Foto anak-anak bermain di Sipiso-piso
Puas mengambil foto, selfie, dan mandi air, kami memutuskan untuk segera naik keatas. Langit juga sudah mulai mendung pertanda akan hujan. Kami naik perlahan-lahan dan disuatu titik akhirnya hujan turun dengan derasnya. Untungnya ada bekas warung kecil yang tidak ada penjualnya saat kami mampir dilanda hujan deras. Saat itu, beberapa anak-anak sekolah yang kehujanan juga menunggu bersama kami. Sekitar 15 menit hujan mulai reda. Kami melanjutkan perjalanan. Anak-anak itu udah mendahukui kami. Aku melihat sebuah loop trail yang bisa mengantarkan kami keatas. Aku bertanya pada kawanku ingin manjat atau tidak. Sepertinya ia tidak yakin tapi akhirnya mengiyakan perkataanku. Kami mulai memanjat batu pertama. Sepertinya kawanku memang tidak sanggup untuk menaiki ini. Jalur looptrailnya agak panjang. Ia sudah ketakutan. Bagaimanapun aku merasa bersalah dengan keadaan ini. Ternyata ia benar-benar takut akan ketinggian. Satu hal yang baru aku tahu dan baru aku rasakan saat ini. Meski bagaimanapun saat kuajak turun ia sudah tidak mau lagi. Katanya ia lebih baik naik daripada turun. Aku hanya bisa mensupportnya agar bisa sampai atas. Mengatasi ketakutan kami, ia dan aku akhirnya berhasil sampai diatas meski dengan cemoohan anak-anak sekolah yang menertawakan kami. Satu pelajaran yang ku ambil, aku tidak akan pernah mengajak kawanku wall climbing lagi. 

Foto Daun dan Bukit
Kami melanjutkan sisa perjalanan dengan memikirkan bersyukur kami masih selamat. Sesampainya di area parkir, kami menarik nafas panjang, duduk sejenak, minum air yang kami bawa dan setelah tenang barulah kami melanjutkan perjalanan dengan motor. 
Kawanku ingin sekali mengunjungi Tongging sekitar 5 km dari arah Sipiso-Piso. Jalannya aspal bagus hanya saja menurun terus hingga bawah. Kami mengurungkan niat untuk pergi ke Tongging karena takut hari sudah sore dan sampai ke Parapat terlalu malam. 
Foto Desa Tongging dari atas
Kami memutuskan untuk pulang dari Tanah Karo. Perjalanan pulang kali ini terasa sangat dingin. Mungkin karena pakaian kami basah, sehabis hujan, ditambah lagi Karo merupakan salah satu daerah dengan suhu terdingin di Indonesia. Kami berhenti di penjual jeruk madu berastagi pinggir jalan menuju arah Saribudolok. Jeruknya kelihatan menggoda berwarna oranye. Di dalamnya, sang ibu penjual jeruk sedang asyik dengan perapian untuk menghangatkan badan. Kami beli jeruk 1 kg seharga Rp. 15.000. Padahal dalam satu kemasan jeruk dengan jaring merah memanjang itu biasanya bisa memuat 5 kg. 
Foto Jeruk Berastagi
Puas mendapat jeruk, kami melanjutkan perjalanan ingin segera sampai di kawasan Simarjarunjung. Karena udara yang sangat dingin, kami memutuskan untuk memakai jas hujan meskipun sore itu sedang tidak hujan. Memakai jas hujan membantu kami mengatasi dingin yang menusuk tulang. Sekitar pukul 16.30 WIB kami sampai di kawasan Simarjarunjung. Aku yang sudah tidak kuat lagi duduk diatas sepeda motor langsung mengajak kawanku untuk berhenti sejenak menikmati kopi, teh ataupun pemandangan Danau Toba dari Simarjarunjung. Aku langsung masuk ke kedai kopi dan memesan segelas teh manis panas. Kawanku juga memesan kopi. Kopi Siantar kata pemilik kedai. Tidak lama kami masuk, kawanku keluar untuk mengambil beberapa foto. Kebetulan disana juga ada spot selfie berupa dek kayu. Saat itu juga ada rombongan orang lokal yang membawa sepeda motor menyerbu masuk ke dalam kedai. Aku bingung karena sepertinya mereka sedang asyik mengobrolkan sesuatu dalam bahasa mereka. Benar saja beberapa saat kemudian ada seorang yang berambut gimbal dan bertampang aneh menyapaku. "Dari mana nya kakak" dengan logat Batak yang kental. "Dari Jakarta" kujawab. "Cobak kakak foto dulu saya pakai walpaper di hape saya" katanya seraya ketawa ketiwi dengan kawan-kawannya yang lain. Aku malas menanggapi orang lokal yang suka menggoda. Aku tahu, kami memang hanya berdua perempuan melakukan perjalanan sejauh ini. lalu kenapa? Apakah diskriminasi seperti itu harus kami dapatkan?. Merasa tidak nyaman, aku segera menghabiskan tehku begitu juga kawanku ku peringatkan untuk segera minum kopinya. Aku sudah malas berada di kedai ini. Kami membayar kopi dan teh tersebut seharga Rp. 10.000. Cukup murah dari pemilik yang ramah. Meski kadang ada orang lokal yang suka menganggu. Saat diluar, kami masih sibuk dengan mengambil foto di deck berlogo hati. Saat akan pindah deck berpigura bunga, ternyata si penjaga retribusi deck tersebut langsung menghampiri kami. Kalau foto satu deck bayar Rp.5.000. Kalau semua 4 deck bayar Rp. 30.000. Hahahahaha kami langsung terkejut dan membayar Rp.10.000. Tanpa tau apa-apa, tanpa ada tarif yang tertulis kami langsung dihampiri dan ditagih. Tidak mau rugi, kawanku minta difoto berdua kepada si penjaga diatas deck love. Absurd rasanya. 'harus love banget nih".Kami tidak mungkin pindah kalau hanya membayar Rp. 10.000. Mau apa lagi, ya diterima saja. Saat kami akan pulang, sang anak juga menagih kami uang Rp. 2.000 untuk parkir. Sore ini kami benar-benar berasa ditodong tanpa tau apa-apa karena harus membayar masing-masing deck selfie. 
Foto 12 ribu perak
Sore ini kami pulang dengan matahari yang sudah mulai memerah akan tenggelam. Kami belum melewati kawaan hutan Pematang Purba di awal masuk pagi tadi. Matahari sudah tenggelam. Kami pun belum sampai di pertigaan Parapat-Siantar. Dingin yang mulai menusuk, jalanan yang gelap tanpa cahaya lampu, pepohonan rindang disebelah kiri dan kanan menandakan kami sudah masuk area hutan. Kawanku bertanya "Coba cek GPS. Berapa lama lagi kita". Aku pun merogoh kantong mengambil peralatan untuk mengecek. Aku bingung, GPS menunjukkan kami sudah sampai di pertigaan Parapat-Siantar. Kawanku sudh bertanya "gimana". Aku jawab "sebentar lagi sampai. Sudah dekat" meskipun dalam hatiku juga bingung kenapa GPS ini meracau. Kawanku memacu sepeda motor yang kami tumpangi lebih cepat. Beruntung jalanan juga lurus. "Hati-hati jangan ngebut santai saja" kataku yang juga mulai takut karena GPS tak kunjung baik. Mobil pun tidak ada yang lewat di belakang kami ataupun arah berlawanan dari kami. Sekitar 10 menit aku hanya menenangkan kawanku dimana aku juga takut. Tidak mungkin aku mengatakan padanya bahwa GPSnya rusak. Sampai suatu saat ada rumah penduduk yang sepertinya digunakan untuk minum tuak bagi masyarakat sekitar sana. Barulah perasaan kami agak lega karena kami sudah menemukan kehidupan. Setelah itu GPS ku kembali berfungsi dan kami langsung tiba di pertigaan Parapat-Siantar-Simarjarunjung. Kami berhenti sejenan untuk mengambil arah menuju Parapat menyeberangi jalanan yang penuh bus dan truk. Disanalah baru kukatakan pada kawanku. "Tadi sejujurnya GPSnya gak jalan. Baru jalan tadi di pertigaan" kataku sambil tersenyum. Ia langsung protes padaku "Apa? Serius?" Hahahahaa dan aku hanya tertawa melihat dia protes dan ngomel-ngomel padaku. Ya.. disanalah kami menemukan yang kami sebut Hutan Horor. 
Perjalanan kembali ke Hotel Mellisa Parapat harus ditempuh sekitar 30 menit lagi. Kami sudah lepas dari hutan yang gelap dan tidak ada kendaraan lain. Masalah kami yang lainnya adalah mobil, truk, bus, yang bersalip-salipan di jalan berkelok. Kami hanya mengendarai motor di pinggir sebelah kiri, tiba-tiba ada truk dari arah berlawanan mendahului truk tronton besar. Pelak saja kami kaget dan membunyikan klakson tetapi truk yang menyalip di depan kami tidak menghiraukannya. Kami sampai berhenti dan truk tronton yang pelan juga berhenti memberikan jalan bagi yang ingin mendahului. Memang gila supir-supir antar lintas Sumatera ini. Kami sampai membuat jargon, Jakarta memang keras. tapi sepertinya Tanah Batak lebih keras. 
Akhirnya dengan tubuh yang sudah lelah, kotoran menempel di badan, kami tiba di Kota Parapat tercinta pukul 19.00 WIB, malam hari. Kami memutuskan untuk makan meski perut tidak lapar. Akhirnya kami makan kwetiau yang lagi-lagi rasanya tidak enak. Kami minta tidak pedas, malah dibuatkan jadi sangat pedas. Belum lagi pemilik warung menyuruhku untuk membayar di kasir belakang tidak bisa di depan. Betul-betul penat aku dengan warung dan kedai di Toba ini. Selesai makan, kami ingin membeli sedikit oleh-oleh makanan dari Samosir seperti mangga udang dan sirup markisa. Kami mendapatkan potongan harga untuk mangga udang yang manis ini. Lumayanlah untuk mengusir rasa penat setelah makan makanan yang rasanya tidak enak.
Foto Malam di Parapat
Kami langsung pulang hanya ingin merebahkan badan di tempat tidur. Perjalanan kami hari ini penuh dengan mengatasi rasa takut.
19 Agustus 2017
Kembali Pulang
Menjelajahi Danau Toba dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan selalu menjadi pengalaman berharga kami. Sejauh apapun kami pergi, perasaan ingin kembali pulang akan tetap ada. Hari ini kami akan segera kembali ke Medan dan balik ke Jakarta. Pagi-pagi kami sudah bersiap-siap meskipun rasa lelah dan pegal di leher dan bahu masih terasa. Awalnya kami ingin memesan makanan di hotel sebelum pukul 08.00 saat travel menjemput kami. Sekitar pukul 06.30 kami memesan makanan via pesan Whatsapp. Tapi pesanan kami tidak berbalas hingga kami check out. Mungkin si pemilik hotel masih tidur. Kami naik travel tanpa pagi. Sepanjang perjalanan kami hanya minum air dan makan cemilan yang kami beli semalam. Sekitar pukul 10.00 barulah pemilik hotel membalas pesan kami. " Ada yang bisa dibantu". Sontak kami berdua tertawa mendapatkan pesan itu. Kami sudah berangkat jauh dari Parapat. Andaikata makanannya bisa diantar kesini. Perut memang sudah lapar dan keroncongan. Untungnya, siang hari kami berhenti di sebuah restoran ayam yang enak dan murah di Tebing Tinggi.
Travel yang kami tumpangi penuh berpenumpang 6 orang. Ada seorang anak yang akan terbang ke Batam. katanya ke Batuaji dan terbang perdana. Ada seorang kakak di depan yang tidak banyak bicara. Ada 2 orang asing yang akan menginap di Medan. Katanya mereka dari Pulau Weh langsung berangkat ke Samosir. Kami melewati kebun sawit milih entah perusahaan atau perseorangan. Ada insiden sapi dan kambing yang berlarian ke jalan dikejar pemiliknya. Si 2 bule itu hanya tersenyum dan tertawa. sepertinya dia bingung kami akan kemana. Barulah sampai di Bandara Kualanamu ia bersuara dengan kawannya. Awalnya bule itu mengucapkan salam perpisahan kepada kami dikiranya kami akan turun di Bandara. Tapi tidak, kami akan menuju kota Medan sama seperti mereka. Pukul 15.00 kami tida di bandara. Perjalanan yang cukup melelahkan dan lebih lama daripada saat berangkat 2 hari yang lalu. Dari Kualanamu ke kota Medan ternyata cukup lama. Memang tidak jauh, tapi lama karena lalu lintas sangat padat dan macet. Kami sudah gelisah di dalam mobil karena penerbangan kami sekitar pukul 20.30 dari Kualanamu. Akhirnya sekitar pukul 16.30 kami sampai ke kota Medan. Kami ingin turun di masjid raya. Hanya saja abang supirnya ingin lewat jalan tikus dan menurunkan si bule di Sochi Hotel Medan. Si bule mengajak kami ngobrol soal taxi karaoke yang populer di Indonesia. ia juga tidak tahu buah salak yang manis dan bertanya lagi kepada kami. Kami lupa apa bahasa inggrisnya salak. Kami katakan saja buah tropis dan rasanya manis.
Kami sudah tidak tahan berada lebih lama lagi di mobil. Saat si bule itu turun, kami langsung juga turun minta tas kami. Awalnya si supir travel ingin tas kami dibiarkan di dalam mobilnya dan kami jalan-jalan di Medan, lalu dia akan jemput kami di tempat tertentu di Medan dan kami diantar ke bandara. Sontak kami tidak mau dan meminta tas kami. Terjadi tawar menawar diantara kami tetapi kami tetap tidak ingin tas kami ada di mobil itu karena kami ingin naik kereta bandara. Si supir mengiming-imingi kami kalau naik kereta mahal dan sebagainya.
Akhirnya ia menyerah karena kami tetap dengan pendirian kami. Kukeluarkan uang Rp. 160.000 untuk membayar ongkos dari Parapat. Ternyata si supir minta lebih dimana masing-masing orang Rp. 100.000 sehingga totalnya menjadi Rp. 200.000. Mungkin memang tarif ke Medan lebih mahal karena lebih jauh. Toh kami juga lupa menanyakan harga travel ke Medan saat kami pesan melalui telepon malam sebelumnya.
Ternyata Kota Medan sangat panas. Yang pertama terbesit di benak kami adalah mencari tempat ibadah untuk kawanku. Ini sudah sore dan kami harus beristirahat sejenak. Kukeluarkan GPS dan mencari masjid terdekat dari Hotel Sochi. Kesanalah tujuan kami selanjutnya.
Foto Masjid
Sementara kawanku berwudhu, aku sibuk membasuh wajah dan leher agar terasa sedikit sejuk. Kawanku menunaikan ibadahnya dan aku sibuk mencari toko kue untuk oleh-oleh kami. Aku menemukan Bolu Meranti di Jl. Sisingamangaraja Medan. Setelah kawanku selesi sholat, kami berjalan kaki ke arah Bolu Meranti. Tokonya tidak terlalu besar tetapi lumayan penuh dan banyak pembeli. Disini juga terdapat berbagai varian rasa mulai dari bolu meranti, bika ambon, pancake durian, dan masih banyak yang lainnya. Kami menyelesaikan pembelian kue dengan cepat dan segera memesan taksi online untuk mengantar kami ke Stasiun Medan. Ternyata di kota Medan ini ada juga semacam Uber, Grab, dan Gojek.
Kawanku sempat mengobrol santai dengan pengendara taksi online yang ternyata masih seumuran dengan kami. Ia adalah seorang suku Jawa kelahiran Medan. Ayah ibunya sudah lama merantau ke Tebing Tinggi. Ia juga belum pernah pulang ke Jawa. Selama ini yang jadi kampungnya hanyalah Tebing Tinggi. Sambil berbincang di sore hari tak terasa taksi yang kami tumpangi sudah sampai di Stasiun Medan. Kami turun, berterima kasih, dan langsung cetak tiket di loket kereta bandara.
Di Stasiun Medan, ada 2 stasiun. Yang satunya untuk kereta reguler di seputaran Sumatera dan satunya lagi kereta Bandara di branding Railink. Ternyata kami tidak harus pesan tiket jauh-jauh hari. Datang saat itu juga ke loket dan berangkat di jam terdekat juga langsung dilayani. Kebiasaan di Jawa memesan tiket jauh-jauh hari jika tidak ingin kehabisan. Kami berangkat pukul 17.30 itu artinya kami masih punya 30 menit lagi untuk jalan-jalan di Alun-Alun Medan tepat di seberang stasiun. 
Tanpa basa basi kami menitipkan barang bawaan di loket railink dan langsung menuju alun-alun. Disini banyak yang menjual buku bekas, orang-orang yang sedang olahraga sore, dan jajanan pasar. Kawanku sempat membeli semangkuk mie instant, lalu kami berfoto di tulisan MEDAN, mengingat waktu yang kami miliki hanya sedikit kami langsung kembali ke stasiun.
Foto Alun-Alun Medan
Tepat pukul 17.30 kereta kami berangkat. Keretanya kosong, memang tidak banyak yang naik. Kesempatan ini kami gunakan untuk foto-foto naik kereta bandara. Sepertinya tahun depan kereta seperti ini juga yang akan ada untuk ke bandara Soetta. 
Foto Railink
Perjalanan dengan kereta hanya ditemouh selama 30 menit. Tepat waktu, sesuai jadwal. Aku yang kelaparan langsung menyerbu restoran Minang di Kualanamu. Sepertinya memang tidak banyak pilihan makanan di bandara. Restorannya cukup mewah, harganya juga lumayan mahal, tapi rasanya enak. Kalau begini, puas rasanya makan. Setelah kawanku melanjutkan sholat magrib, kami langsung check in 2 jam sebelum keberangkatan. Bandaranya cukup nyaman dan luas, maklumlah internasional. Kami juga lihat beberapa display event wisata, promosi Toba,Sipiso-Piso, dan yang lainnya. Banyak juga toko oleh-oleh yang masih menyajikan dagangan untuk dibeli pelancong yang belum puas berbelanja. Waktu tunggu selama 2 jam pun tak terasa saat di Kualanamu. Kami naik pesawat lagi, tidak saling berbicara. Lelah memang, tapi, ada satu kesenangan tersendiri saat kami mendapatkan pengalaman baru. Menikmati indahnya kaldera Toba, sekeping surga yang jatuh ke bumi.
Foto by : SM
Text by : PA