Minggu, 23 September 2018

Kehidupan Pesisir di Ujung Jawa

Di antara amukan badai samudera Hindia, kami berlayar. Menumpang sebuah kapal nelayan, terombang ambing di tengah lautan. Ombak berdiri di depan kami, bergulung bergiliran menghantam. Setelah satu ombak lewat, kami harus mencemaskan ombak lain sampai mencapai daratan. Dan sekeliling hanyalah air. Kubangan air yang sangat luas dan dalam. Makin tersadar bahwa kami ini hanyalah titik kecil di alam semesta.
Perjalanan kami kali ini mengikuti sebuah tur dan travel. Dalam perjalanan dengan jasa travel wisata ini, kami mendapatkan banyak rintangan. Kami memutuskan untuk menggunakan jasa travel wisata karena medan yang cukup sulit untuk mencapai kawasan Ujung Kulon. Transportasi umum sulit di cari. Kapal wisata untuk ke Pulau Peucang cukup mahal harganya apabila tidak pergi beramai-ramai.
 
Peta Lokasi Pulau Peucang-Jakarta
26 Januari 2018
Berangkat dari Jakarta, meeting point di Plaza Semanggi kami duduk di pinggiran mall yang malam itu cukup ramai. Selepas bekerja seharian di hari jumat, kami datang ke plaza semanggi berharap bisa melepas penat dengan keluar sebentar dari riuhnya kota. Berbekal nomor telepon pimpinan tur, kami mulai mencari-cari rombongan yang akan membawa kami menuju Pulau Peucang. Ternyata isi rombongan yang membawa kami tidak terlalu besar, hanya sebanyak kapasitas minibus sekitar 15-20 orang peserta. Bus yang digunakan juga merupakan bus yang tidak terlau besar. Sekitar pukul 22.00 WIB, bus yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan keriuhan jumat malam di hari itu. Kami keluar melewati bagian barat Jakarta mengarah ke kota Serang, Banten. Di sepanjang tol sangatlah macet, banyak mobil dan juga truk besar melintasi jalanan untuk menuju tujuan mereka masing-masing. Sepanjang hari yang melelahkan, menumpang di dalam bus, membelah jalanan ibukota, kami mencoba untuk bisa tertidur di perjalanan. Meski kurang nyaman dengan keadaan kursi bus yang sempit.
27 Januari 2018
Pukul 01.00 WIB pagi dini hari, bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah swalayan kecil. Aku mulai terbangun melihat sekeliling yang masih tertidur pulas. Hanya beberapa orang saja yang masih sibuk dengan ponselnya memasang wajah serius ataupun tertawa sendirian. Ternyata pimpinan tur kami berhenti disini karena mengambil alat snorkling yang akan digunakan di pulau Peucang nanti. Sekitar 30 menit kami berhenti disini dan mulai merayap membelah jalanan kota yang sepi. Dengan kondisi yang cukup segar setelah bangun dari tidur, aku mulai melihat jalanan kota Serang dalam gelap. Tidak banyak aktifitas di sepanjang jalan. Kawan di sebelah mengajakku untuk kembali beristirahat. Tapi, mataku sudah terbuka lebar dan akhirnya aku hanya mengamati sepanjang jalan kota yang lama-kelamaan mulai gelap. Ternyata, rombongan kami mulai meninggalkan kota Serang menuju kota Pandeglang. Sepanjang perjalanan kami disuguhi oleh kegelapan pekat yang kanan dan kirinya hanya pepohonan. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sudah cukup jauh. Dengan jalan yang minim penerangan dan berlubang sudah membuat supir bus kewalahan. Ditambah lagi jalanannya juga meliuk-liuk menambah seramnya perjalanan kami malam itu.
Waktu beranjak dari kegelapan malam menuju pagi. Tetapi, jalanan yang kami lalui masih tidak bersahabat. Semakin lama, di sepanjang jalan yang kami lewati hanyalah hutan belantara tanpa rumah penduduk samasekali. Karena mengantuk dengan keadaan tersebut, aku mulai mencoba tidur kembali. Meski kawan-kawan seperjalanan sepertinya sudah terlelap di dalam mimpi. Saat ingin tidur, aku juga tidak bisa memjamkan mata karena kondisi jalanan yang sangat parah. Lubang disana-sini membuat supir bus kesulitan mengendalikan kendaraannya. Berulang kali ia menghantam lubang jalanan yang rusak dan mengagetkan kami semua. Akhirnya, sekitar pukul 03.00 WIB kami berhenti di sebuah persimpangan, sebagai tempat istirahat yang terakhir sebelum mencapai dermaga Sumur. Dermaga Sumur adalah dermaga terakhir untuk menyeberang ke Pulau Peucang. Pada saat itu hujan turun sangat lebat. Tapi aku tahu kami sudah dekat dengan pantai. Hawanya sudah mulai panas dan layaknya bau garam laut. Kawanku ingin mencari tempat ibadah, tapi sayangnya terkunci dan kami juga tidak jadi buang air kecil. Ternyata di pedesaan seperti itu, tempat ibadah juga terkunci agar masyarakat tidak sembarangan masuk ke dalam. Cukup lama kami berdiri di luar bus untuk melancarkan peredaran darah di kaki yang sebelumnya terus menerus duduk. Meski hujan mengguyur dan petir berkelebat kami masih saja berdiri di teras warung kopi yang pada jam segitu ajaibnya ia belum menutup toko. Agak aneh untuk sebuah warung kopi di pedesaan mengingat sepinya pembeli. Mungkin karena si pemilik warung tahu kalau jalur ini biasa digunakan wisatawan apabila ingin pergi ke Ujung Kulon. Setelah 30 menit, kru tur memberitahukan kepada kami untuk masuk ke dalam bus. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju dermaga Sumur. Perjalanan kami selanjutnya makin berat. Medan yang kami tempuh selain berlubang menurun dan menanjak yang cukup tajam. Ada satu momen dimana kami sangat kaget karena supir bus yang kami tumpangi hampir tidak bisa mengendalikan kendaraannya sehingga oleng ke kiri. Beberapa kali juga bus kami berjalan sangat perlahan demi menuruni jalanan berlubang.
Dengan perjalanan yang cukup panjang, sekitar 7-8 jam kami akhirnya tiba di Dermaga Kampung Sumur Desa Tamanjaya, Ujung Kulon. Cuaca pagi itu kurang bersahabat. Angin bertiup cukup kencang, terlebih lagi mendung di langit yang belum ingin beranjak. Di dermaga tersebut ada sebuah perahu nelayan kecil yang terombang ambing disapu ombak. Air laut di pinggir pantai juga berwarna kecoklatan keruh. Aku pun berpikir... sepertinya ini bukan waktu yang baik untuk berpergian mengarungi lautan. Meski begitu, kelihatannya kami harus tetap maju.
Foto dermaga Sumur
Kami menunggu sekitar 30 menit di pinggir pantai sambil meluruskan kaki, dan pergi ke toilet karena sudah menahan buang air kecil cukup lama. Kawanku juga menunaikan sholatnya dengan pergi ke salah satu pemilik rumah. Tur guide kami tidak memberikan instruksi untuk kami bisa buang air kecil atupun sekedar mencuci wajah. Maka dari itu aku memberanikan diri masuk ke rumah salah satu warga untuk mohon izin sejenak beristirahat.
Sekitar 15 menit tidak ada jawaban dari sang pemilik kapal, tur guide kami menginstruksikan untuk masuk kembali ke dalam bus karena kami akan berangkat menuju dermaga lainnya. Kru kapal kami menuju Pulau Peucang ternyata sudah menunggu di sana. Berhubung bus kami tidak bisa menuju ke dermaga karena jalan yang relatif kecil, maka kami harus turun dan berjalan kaki. Kami semua mulai mengambil barang bawaan di bagasi dan berjalan kaki menuju dermaga. Sepanjang perjalanan ke dermaga, kami melewati beberapa rumah penduduk, kebun, dan ada gudang penyimpanan untuk menjemur ikan asin. Tak berapa jauh kami berjalan, aku melihat tiang kapal berhimpitan satu sama lain lengkap dengan tali kawat yang mengikat tiang. Di tengah kapal tersebut ada sejenis gubuk kecil. Kata kawanku, gubuk kecil itulah yang ditinggali oleh nelayan manakala mereka mencari ikan di tengah lautan. Selain kapal yang semrawut, dermaga itu sangatlah kotor. Banyak kayu hasil pembakaran teronggok di pinggir pantai. Bahan plastik merek sabun cuci ternama juga aku temukan di pinggir pantai. Seketika aku langsung merasa jijik. Pantas saja Pulau Peucang juga kurang populer, secara akses sudah sulit, tempat penyeberangannya juga tidak terawat. 
Foto Jalan Kampung menuju dermaga

Diantara kapal-kapal nelayan pencari ikan, kami mulai naik ke kapal sekoci (kapal kecil) untuk menuju kapal besar yang akan kami gunakan untuk penyeberangan ke Pulau Peucang. Kapal besar kami bersandar jauh dari daratan. Pantas saja, kapal besar tidak bisa bersandar ke bibir pantai karena penuhnya bibir pantai dengan kapal besar pencari ikan lainnya. Alhasil di kapal sekoci, kami harus menunduk dan berdiri demi menghindari bertabrakan dengan lambung kapal yang besar. 
 
Foto kapal-kapal nelayan di dermaga
Setelah semua naik ke kapal, aku dan kawanku mulai mencari tempat duduk yang nyaman. Ternyata di dalam kapal, sudah penuh dengan peserta lainnya yang ikut perjalanan kali ini. Wajar saja, kami tadi naik sekoci terakhir menuju kesini. Sebuah pilihan yang kurang tepat. Demi mengobati rasa kecewa, akhirnya kami duduk di bagian depan kapal sembari dibagikan makanan oleh anak buah kapal. Menu makan pagi kami kali ini adalah nasi uduk dengan sebutir telur, bihun, tempe, dan sambal. Seharusnya menu yang lumayan enak untuk kami makan di pagi hari yang kelabu ini. Dengan perjalan yang cukup jauh, sekitar 4 jam untuk mencapai pulau Peucang kupikir perut kami harus terisi dengan makan yang baik.
Mesin tempel kapal kami pun mulai mengeluarkan suara khasnya. Tanda bahwa kami akan mulai mengarungi lautan lepas untuk sampai ke tujuan. Awalnya sekitar 15 menit pertama, perjalanan kami tidaklah terlalu bergelombang. Aku masih bisa makan nasi meskipun perut rasanya masih menolak untuk diisi. Mungkin karena gelombang yang bertubi-tubi menghantam kapal kami. Lama kelamaan aku sudah tidak berselera untuk makan. Aku yang biasanya lahap makan akhirnya merasakan samasekali tidak ingin menelan makanan karena mual digoyang gelombang laut. Jangankan ingin foto-foto, yang ada dibenakku saat itu hanyalah bisa cepat sampai ke daratan. Sepanjang perjalanan menuju Pulau Peucang, tidak ada laut yang tenang. Hampir sepanjang perjalanan kami berperahu semuanya hampir membuat perahu kami oleng. Aku dan kawanku yang duduk di depan rasanya sudah mandi air laut. Baju kami semua basah oleh cipratan air laut ke badan kapal. Disebelahku ada seorang ibu-ibu yang sepertinya bersama anaknya. Wajahnya sudah pucat dan bibirnya melantunkan doa-doa untuk bisa selamat dari ini. Anaknya pun begitu. Ia hanya memejamkan matanya dan pasrah menerima keadaan ini. Aku tidak sanggup untuk mengambil foto dalam keadaan ini. Selain karena kamera kami yang tidak tahan air, sepertinya jika aku melepaskan pegangan tanganku dari kayu kapal, aku akan terpental jatuh menghantam kayu lainnya.
Selama hampir 4 jam, kami hanya berdoa berharap bisa sampai daratan dengan cepat. Saat daratan sudah terlihat di depan mata kami, gelombang air laut juga mulai berkurang. Dalam keadaan yang sedikit tenang, aku baru mulai mengontrol keadaan dan bercengkrama dengan kawanku. Kuperhatikan juga keadaan sekeliling, ada seorang pria yang muntah di dek kapal. Ibu dan anaknya yang berwajah pucat pasi. Nasi yang tidak habis termakan dan berserakan di lantai kapal. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan sekaligus menantang adrenalin. Air disekeliling kami tidaklah biru pekat lagi. Mereka sudah berubah menjadi hijau kecoklatan. Tandanya kami sudah dekat dengan daratan.
Kami menepi dengan segala perasaan. Senang, takut, merasa baru habis melewati bahaya. Kami turun satu persatu dari kapal dan mulai berjalan melewati dek kayu yang ada di dermaga Pulau Peucang. Kapal yang kami tumpangi merapat dan bergoyang-goyang disapu ombak dan angin. Kami agak kesulitan turun dari kapal. Beberapa awak kapal berjalan mengangkut barang-barang logistik dan perbekalan kami selama di pulau.
 
Foto Dermaga Pulau Peucang
Masuk menuju pulau, kami disambut oleh beberapa binatang asli seperti monyet, rusa, dan babi hutan. Kami diarahkan menuju kamar masing-masing. Di Pulau Peucang sendiri, tidak ada sinyal telekomunikasi maupun internet. Sehingga untuk pemesanan tempat menginap juga harus on the spot di lokasi. Pimpinan tur kami harus cekatan memesan tempat menginap. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kami kebagian menginap di penginapan bagian depan yang menghadap langsung ke laut. Disana ada 4 blok kamar yang bangunannya sudah cukup lama. Kayu-kayunya sudah banyak yang lapuk. Bangunan memanjang berbentuk panggung itu pun kami naiki. Mungkin karena kesulitan mencari bahan beton, akhirnya bangunan di pulau ini semuanya menggunakan kayu beratapkan seng. Rombongan kami dibagi menjadi 4 kelompok oleh pimpinan tur yaitu 3 kelompok perempuan dan 1 kelompok laki-laki. Banyak polemik dan dilema saat pembagian kamar tersebut. Aku dan kawanku yang hanya berdua banyak menjadi sasaran pemindahan kamar. Kami sudah masuk kamar satu yang dianggap penuh, lalu kami diminta untuk pindah ke kamar lainnya yang lebih besar. Haha.. sudah lelah dan kami harus di giring kesana kemari rasanya ingin marah saja kepada pimpinan tur kami. Karena kami yang malas memindahkan barang-barang akhirnya ia mengalah dan menyampaikan kepada kami kalau barang-barang kami bisa dipindahkan nanti malam saat akan tidur. Sayangnya kami lupa mengambil foto penginapan kami hari ini. Hehehehe
Selesai dengan urusan kamar yang sebenarnya belum terselesaikan, kamis beristirahat sejenak untuk berganti pakaian. Kami dipersilahkan untuk santap siang di pulau. Sebuah sajian sederhana di alam bebas dengan menu ikan bakar. Kegiatan kami selanjutnya adalah snorkeling di Ciapus. Aku tidak turun ke laut karena memang aku tidak terlalu menyukai pantai. Bagiku pantai dan laut biru itu adalah suatu kegelapan yang tak berujung, tak berdasar. Alhasil kawanku yang sangat menyukai laut itu pun turun dan menikmati keindahan terumbu karang Ciapus. Menurutnya, keadaaan terumbu karang disana masih sangat bagus belum rusak terinjak-injak oleh wisatawan yang berkunjung. Biota laut dan ikan-ikannya juga masih banyak berkeliaran. Hanya saja sayangnya pemilihan waktu yang kami ambil agaknya kurang tepat karena pasir pantai naik ke atas karang disusul ombak besar. Oleh karena itu terumbu karang dan biota lautanya tidak terlalu jelas terlihat. Lokasi snorkeling ini tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Aku dan seorang ibu-ibu juga seorang anak muda menunggu diatas kapal sementara kawan-kawan kami yang lainnya sudah terjun ke dalam laut. Ada yang berenang ria, ada yang menuju pantai bercengkrama. Dan aku hanya sibuk mengambil foto-foto sekitar lokasi yang sangat terik kala itu. Aku mendapatkan sebuah pemandangan yang bagus yaitu dua kapal besar yang berlayar melintasi selat Sunda. Sejenis kapal Tongkang. Tetapi, selain kapal ini aku lebih tertarik kepada seorang kawan yang tidak turun kelaut. Dari fisik dan gayanya, kunilai bahwa wanita yang bergaya layaknya pria ini sangat menyukai olahraga air. Postur tubuh yang tidak terlalu tinggi tapi cukup atletis dan tangkas di air. Memang seperti pria. Dan yang menarik kenapa ia tidak turun ke laut dengan impresi pertama ku bahwa ia suka snorkeling. Pertanyaanku belum terjawab saat itu. Kubiarkan ia mengambang sambil menikmati alam indah yang ada disekelilingku.
Foto Suasana di sekitar Spot Snorkling
Foto dua kapal muatan
Dari atas kapal kawan-kawan yang menceburkan dirinya terlihat sangat menikmati segarnya air laut di ujung pulau Jawa. Ada yang berenang hingga sampai ke ujung pantai pasir yang pendek, berenang mengikuti arus. Snorkling sepertinya memang menyenangkan bagi penikmat pantai. Menikmati keindahan bawah laut Indonesia ataupun hanya sekedar bermain air bersama kawan.

Dari cuaca yang bersahabat, tidak berselang beberapa jam, awan hitam terlihat dikejauhan diatas gugusan bukit pulau Peucang. Sepertinya awan-awan itu akan bergerak sangat cepat menuju tempat kami berada. Cuaca yang awalnya cerah, tak berselang satu jam sudah berubah drastis. Awan hitam dan angin kencang berkumpul menyerbu kami. Ternyata memang benar cuaca di sekitar perairan ini memang sangat cepat berubah. Sebentar panas terik dan sebentar lagi bisa terjadi hujan lebat. Pemandu tur kami segera memanggil dan menyarankan untuk segera naik ke atas perahu. Benar saja, dalam beberapa menit hujan deras sudah melanda disertai angin kencang.

Dari atas kapal kawan-kawan yang menceburkan dirinya terlihat sangat menikmati segarnya air laut di ujung pulau Jawa. Ada yang berenang hingga sampai ke ujung pantai pasir yang pendek, berenang mengikuti arus. Snorkling sepertinya memang menyenangkan bagi penikmat pantai. Menikmati keindahan bawah laut Indonesia ataupun hanya sekedar bermain air bersama kawan.
Dari cuaca yang bersahabat, tidak berselang beberapa jam, awan hitam terlihat dikejauhan diatas gugusan bukit pulau Peucang. Sepertinya awan-awan itu akan bergerak sangat cepat menuju tempat kami berada. Cuaca yang awalnya cerah, tak berselang satu jam sudah berubah drastis. Awan hitam dan angin kencang berkumpul menyerbu kami. Ternyata memang benar cuaca di sekitar perairan ini memang sangat cepat berubah. Sebentar panas terik dan sebentar lagi bisa terjadi hujan lebat. Pemandu tur kami segera memanggil dan menyarankan untuk segera naik ke atas perahu. Benar saja, dalam beberapa menit hujan deras sudah melanda disertai angin kencang.
Foto Awan gelap di perairan Pulau Peucang


Sekali lagi kami berlayar diatas kapal dengan perasaan was was takut kapal kami karam. Ombak yang sangat tinggi menghantam kapal kami. Aku sudah tidak bisa mengeluarkan kamera untuk mengambil gambar ombak yang ada di depan kami. Sang nahkoda kapal dengan cekatan menjalankan kapalnya menuju spot snorkeling kedua di sekitar Karang Copong. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Tapi merupakan 15 menit yang sangat menguji adrenalin. Ternyata sampai di area Karang Copong, kami tidak bisa melakukan snorkeling karena ombak yang sangat besar. Akan sangat berbahaya apabila tetap dipaksakan. Hilanglah sudah kesempatan kami untuk snorkeling di sekitar karang copong sekaligus trekking melihat keindahan pantai ujung barat dari atas tebing. Karena cuaca yang sangat berbahaya, kapal yang kami tumpangi memutar haluan berbalik menuju kearah dermaga Pulau Peucang. Perjalanan kembali ini juga tidak kalah mengerikannya dengan yang lain.
Akhirnya sekitar jam 3 sore kami sampai dengan selamat di penginapan. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, sampai penginapan cuaca berubah menjadi relatif lebih baik. Tidak ada angin kencang, hanya sisa-sisa ombak yang perlahan menuju daratan. Beberapa kawan-kawan seperjuangan kami segera berganti pakaian basah mereka, ada yang mandi, bersih-bersih, mengganti pakaian basah yang mereka kenakan. Kawanku hanya berganti pakaian. Ia belum ingin mandi dan bersih-bersih mengingat sekitar pukul 4 nanti kami masih harus berangkat ke padang savana Cidaon. Sambal menunggu keberangkatan ke Cidaon, kami berjalan-jalan di sekitar dermaga Peucang dan bermain ke pinggir pantai. Pantai sekitar pulau Peucang sangat menggoda untuk dijelajahi. Airnya bersih, pasirnya putih, masih banyak biota laut di kawasan perairannya. Ada schooling fish ikan yang bergerombol bahkan ada lion fish di sekitar dermaga. Mereka sibuk mencari makanan di pinggir dermaga sembari berenang kesana kemari. Aku baru pertama kali melihat “ikan singa” secara langsung. Ternyata bentuknya memang sangat rumit dengan warna kuning dan coklat yang beragam mirip seperti tubuh singa yang belang-belang.

Foto Lion Fish

Foto Suasana pantai di Pulau Peucang
Pasir putih di sepanjang pantai juga sangat menggoda untuk dijelajahi. Menjejakkan kaki di butir-butir pasir yang halus seraya disapu gelombang halus air laut yang menuju pantai. Pulau Peucang ini dikelola oleh Taman Nasional Ujung Kulon dimana fokusnya adalah untuk pelestarian Badak Jawa yang hampir punah. Kami memang banyak mengamati satwa liar yang berkeliaran di sekitar resor Pulau Peucang ini. Di kawasan resor, terdapat beberapa bangunan yang diperuntukkan sebagai kantor petugas taman nasional, warung makan, dan penginapan. Depan kawasan penginapan ini terdapat dermaga sebagai pintu keluar masuk pulau. Diantara bangunan-bangunan ini terdapat lapangan berumput hijau yang cukup luas. Jika sore hari banyak rusa, babi hutan, dan biawak yang berkeliaran di sekitar lapangan dan penginapan. Niat awal kami untuk mendapatkan camilan di warung makan tidak terjadi karena warung yang tutup. Alhasil kami mencoba makan kudapan mie instant siap saji di resor taman nasional. Ternyata mereka juga menyediakan camilan sederhana apabila pengunjung datang ke pulau Peucang. Memang tidak banyak makanan yang dijual hanya biskuit, mie instan, kopi ataupun teh. Itupun harganya sudah sangat mahal mengingat biaya transportasi dari dermaga Sumur. Di dalam resor ini terdapat beberapa informasi mengenai Taman Nasional Ujung Kulon dan Badak Jawa. kami juga bertemu dengan salah satu pegawai resor pulau Peucang yang bernama Pak Mumu. Beliau orangnya cukup baik memberikan pemahaman kepada kami tentang seluk beluk Taman Nasional Ujung Kulon. Beliau telah bertugas di TN ini belasan tahun. Beliau juga ikut andil tentang penanaman biota laut dan ekosistem daratan pulau termasuk menghitung jumlah satwa yang dilindungi. Menurut catatan beliau, masih ada sekitar 60-an populasi Badak Jawa di Ujung Kulon. Dan penyebab utama kepunahannya karena adanya ketidakseimbangan jumlah spesies jantan dan betina. Menurut beliau, sesuai dengan teori kepunahan apabila spesies jantan lebih banyak dari betina, populasi akan berkurang. Maka dari itulah devisit betina saat ini memiliki pengaruh yang cukup besar ditambah lagi dengan adanya penyakit menular diantara kawanan Badak Jawa. 
Foto Signage Taman Nasional Ujung Kulon-Resor Peucang
Sayangnya, pengunjung yang datang ke Pulau Peucang tidak akan dapat melihat Badak Jawa secara langsung. Awalnya memang ku pikir bahwa kami dapat melihat spesies badak bercula satu ini. tetapi karena kondisi badaknya sendiri yang merupakan hewan penyendiri dan pemalu, maka akan sangat sulit untuk menemui. Badak tidak akan menuju area penginapan karena ramai dengan manusia. Mereka hidup di tengah hutan dan apabila pengunjung ingin menemukannya, harus masuk ke tengah hutan dan memiliki izin khusus dari taman nasional. Biasanya yang melakukan kegiatan ini adalah turis ataupun pengunjung yang tertarik dengan Badak Jawa ataupun untuk kebutuhan riset dan pengetahuan ilmiah. Wisatawan seperti kami tidak dapat melihat Badak Jawa secara langsung.
Tidak terasa perbincangan kami dengan Pak Mumu sudah mencapai akhir karena kami dipanggil oleh pimpinan tur untuk segera bersiap-siap melakukan perjalanan ke Cidaon. Jarak dermaga Peucang ke dermaga Cidaon tidaklah terlalu jauh sekitar 15 menit perjalanan dengan perahu. Perjalanan kami cukup tenang dengan ombak yang menimbulkan sedikit guncangan. Sebenarnya padang penggembalaan Cidaon tidaklah terlalu jauh dari dermaga Peucang. Letaknya diseberang Pulau Peucang yakni masih di daratan Pulau Jawa dan terpisah lautan. Area ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Pengunjung yang ingin datang harus menggunakan perahu. Dari dermaga Cidaon, kami disambut oleh pasir yang cukup hitam berbeda dengan pasir di dermaga Pulau Peucang yang berwarna Putih. Di samping dermaga ada bangunan kecil mirip pos tiket yang tidak ada penjaganya. Dari dermaga untuk mecapai padang penggembalaan Cidaon harus berjalan kaki sekitar 20 menit masuk ke dalam hutan yang berisikan tumbuhan berduri dan beberapa pohon bakau. Jalan setapak yang dilalui memang kecil tetapi cukup jelas untuk menuntun kami menuju padang penggembalaan Cidaon. Di ujung lebatnya hutan, kami menemukan sebuah lapangan yang luas berisikan sapi liar dan banteng yang sedang merumput. Banyak ranjau kotoran sapi di sekitar padang gembala. Ternyata Cidaon ini merupakan tempat merumputnya hewan liar di Pulau Peucang seperti sapi, banteng, rusa, dan yang lainnya. Pengunjung yang datang juga tidak boleh mendekat ke arah hewan liar ini karena jika mereka menyadari keberadaan manusia mereka bisa lari menjauh. Alhasil pengunjung yang datang hanya bisa melihat dari jauh dan mengambil foto. Sebenarnya ada sebuah menara pandang yang cukup tinggi untu bisa melihat dari kejauhan. Hanya saja menara pandang tersebut dipasang garis polisi dan tidak diperbolehkan untuk naik. Mungkin karena kondisi bangunan yang sudah rapuh.
Foto Suasana Pengembalaan Cidaon dari kejauhan
Selain binatang, ada satu jamur yang menarik yang kami temukan disini. Jamur ini adalah jamur yang biasa disebut “magic mushroom”. Di Bali, biasa di sebut dengan oong tain sampi yang artinya jamur kotoran sapi. jamur ini memang tumbuh di sekitar kotoran sapi yang sudah terkena hujan, sinar matahari dan mengeras. Menurut kebiasaan di daerahku dahulu, jamur yang tumbuh di kotoran sapi ini tidak boleh dikonsumsi karena akan membuat pusing, mabuk, dan tidak sadarkan diri. Tapi, di Bali sekarang juga banyak dijual dalam bentuk makanan dan minuman untuk konsumsi turis asing. Sebenarnya penjualan jamur ini juga termasuk penjualan yang illegal.
Foto Habitat Magic Mushroom
Sekitar pukul 05.00 kami puas melihat padang penggembalaan Cidaon dan bersiap-siap untuk kembali pulang ke penginapan. Kami mulai berjalan balik menyusuri jalan setapak kecil tadi. Angin kencang mulai berhembus lagi. Pepohonan di sekitar tempat kami berjalan sudah mulai beterbangan dan miring ditiup angin. Pertanda hujan akan segera datang kembali. Aku sudah berpikir bahwa kami akan diterpa ombak sekali lagi. Benar saja, sampai di dermaga Cidaon kami disambut oleh angin yang sangat kencang ditambah hujan yang cukup lebat. Mendung tebal sepertinya tepat di kepala kami. Ombak juga sudah bergoyang menyapu kapal kami yang tertambat di dermaga. Kami semua masuk berlindung di sebuah pos tiket kecil yang tanpa penjaga. 15 orang masuk ke dalam ruangan sempit dengan pakain basah. Sekitar 15 menit kami menunggu di dalam dan pimpinan tur kami menanyakan kepada nahkoda kapal apakah bisa berangkat meskipun dalam keadaan badai seperti ini. Seperti mereka meng-iya kan dan kami berlarian dalam keadaaan hujan seperti ini untuk satu per satu masuk ke dalam kapal. Aku dan kawanku yang masuk terakhir benar-benar sial harus duduk di depan geladak. Ini adalah titik yang paling tidak strategis saat hujan karena kami akan terkena cipratan gelombang laut dan hujan. Untuk melindungi tubuh dan barang yang kami bawa akhirny kami menggunakan jas hujan sembari di terpa angin. Hahahaha ingin rasanya tertawa melihat jas hujan kresek yang beterbangan dan sangat sulit dipakai. Tapi jika dipikirkan lagi, mengapa aku jadi sedih sendiri dengan penderitaan diatas kapal dalam hujan ini. Setelah semua penumpang naik, kapal mulai berjalan menembus gelombang dan badai. Ini adalah badai terdahsyat dari sebelumnya. Baju kami yang ada di geladak sampai basah semua. Meskipun aku menggunakan jas hujan, tidak ada pengaruhnya samasekali dan kami masih tetap basah. Ombak di depan kami sangat tinggi. Angin juga sangat kencang. Entah ini sudah badai keberapa yang kami lalui sejak pagi tadi.
Aku dan kawanku sudah tidak mungkin berpikir untuk mengambil foto sore ini. Diantara amukan badai dan berpegangan kesana kemari di tengah kapal yang ditimpa gelombang. Aku hanya ingin cepat sampai daratan, cepat sampai dermaga peucang, cepat sampai penginapan. Karena rasanya hari ini sangat melelahkan. Aku hanya ingin merebahkan badan di kasur yang tadi kulihat sangat tipis.
Untungnya kami tiba di penginapan dengan selamat meskipun basah kuyup. Ada beberapa orang yang tadinya sudah mandi ingin mandi kembali karena pakaian yang basah kuyup. Aku dan kawanku langsung menuju kamar, mengambil peralatan mandi, dan menunggu antrian di kamar mandi. Sudah banyak orang lain yang mengantri di depan kamar mandi. Jumlah kamar mandi disini sangat terbatas. Untuk 20 orang, hanya disediakan 2 kamar mandi sederhana yang dipakai secara bergantian. Kami juga harus melepas alas kaki untuk masuk kamar mandi. Di dalam kamar mandi ada satu WC dan satu bak besar yang airnya selalu mengalir untuk memenuhi kebutuhan kami. Penerangan juga sangat minim karena listrik dari genset hanya dihidupkan pada malam hari sekitar pukul 18.00-22.00. Di siang hari, pengunjung betul-betul memanfaatkan sinar matahari untuk keperluan penerangan. Tidak jarang juga biawak berjalan disebelah kita dan masuk kamar mandi. begitupun dengan monyet dan rusa yang juga mencari makanan dari sisa-sisa makanan pengunjung. Benar-benar hidup di alam liar.
Makan malam kami dimulai sekitar puku 19.00 setelah semuanya selesai mandi dan beribadah. Oh iya di kawasan Pulau Peucang ini juga ada mushola kecil untuk melaksanakan ibadah bagi umat muslim. Musholanya cukup bersih dan fasilitasnya cukup lengkap. Area berwudhu juga disediakan melalui keran-keran dengan selang putih yang terlihat keluar. Sepertinya instalasi air bersihnya tidak ditanam ke dalam bangunan ataupun tanah. Belum lagi kalau berwudhu terkadang ditemani babi hutan dan monyet. Tapi secara umum fasilitasnya cukup baik. Kami makan malam di belakang penginapan yang mereka sebut sebagai dapur umum. Kondisinya tidak terlihat seperti dapur, lebih terlihat seperti dapur di barak. Ada nasi yang ditempatkan di satu ember besar, lauk pauk seperti ikan kembung bakar, sayur sop, kerupuk, dan sambal merah atau sambal kecap. kami benar-benar seperti makan di barak pengungsian dengan menu seadanya. Semua menu tersebut ditempatkan di satu meja rendah yang biasa dipakai sebagai tempat duduk. Entahlah itu meja atau kursi. Yang jelas di daerahku itu biasa di sebut bale-bale. Setinggi dipan (tempat tidur) tapi difungsikan untuk duduk bersila dan menempatkan makanan. Seperti makan di lesehan. Kami berjubel memadati bale tersebut yang tidak seberapa luas. Bale-bale tersebut berada di teras dapur barak yang beralaskan tanah. Setelah mengambil makanan, aku langsung kabur jauh ke depan penginapan kami dan makan disana. Rasa makanannya juga tidak terlalu lezat, tapi cukup mengganjal perut lapar setelah diterjang badai sejak pagi.
Malam ini juga ada keributan di kamar sebelah. Aku teringat lagi tentang anak perempuan yang tidak ikut snorkling. Pada waktu di Cidaon juga iya tidak ikut snorkling. Ternyata kakinya bengkak dan terkelir sehingga harus dipanggilkan tukang urut. Hampir selama diurut tersebut, ia menangis berteriak sehingga mengundang banyak perhatian dari kamar lainnya. Ternyata kakinya terantuk kayu pada saat berangkat menuju pulau dan bengkak cukup parah. Sungguh perjalanan yang membahayakan.
28 Januari 2018
Aku terbangun saat hari masih gelap. Rasa kantuk dan lelah hari sebelumnya cukup terbayar dengan istirahat di malam hari. Aku mulai membuka mata perlahan meskipun mataku masih sulit dibuka. Di kegelapan pagi dalam posisi tidur yang berantakan antara satu orang dengan lainnya. Disebelahku terdapat sekitar 3 pasang kaki orang yang tak kukenal sebelumnya. Sepertinya mereka masih tertidur lelap. Ah iya pikiranku baru berjalan dalam keadaaan setengah sadar aku berada di penginapan barak Pulau Peucang. Perlahan kubuka mataku, dan melihat sekeliling. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak yang menggapai pantai. Tenang dan damai, suara ombak pagi pikirku.
Aku terbangun dan keluar dari barak dan mulai menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Kontan saja aku kaget karena babi hutan sudah menungguku di sebelah kamar mandi. Aku masuk perlahan-lahan mencoba untuk tidak mengagetkan mereka. Sekembalinya dari kamar mandi, aku duduk di depan penginapan kami dan mulai melihat lautan. Perlahan-lahan matahari mulai muncul dan suasana sekitar menjadi terang begitupun dengan peserta tur yang sudah mulai bangun dan berisik. Bukan hanya kami, hewan liar pun mulai bermunculan di sekitar kami. Monyet, rusa, babi hutan, biawak air asin, dan yang lainnya.
Di hari terakhir tur kami, rencananya kami akan snorkling lagi di pulau Badul dan menyusuri sungai Cigenter yang menurut sumber lain seperti amazonnya Brazil. Akan tetapi perjalanan kali ini sepertinya memang penuh hambatan cuaca. Langit mendung sudah menunggu dari pagi tadi. Pimpinan tim kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke tujuan lainnya karena akan sangat berbahaya apabila dipaksakan. Gelombang laut juga semakin tinggi. Akhirnya diputuskan bahwa kami harus segera kembali ke dermaga Sumur setelah awan mendung hilang dan hujan mereda.
Foto Babi Hutan

Sambil menunggu hujan reda, kami bercengkrama dengan kawan-kawan yang lain di depan penginapan sambil melihat hewan yang mengelilingi kami. Yang paling banyak adalah kera. mereka bergerombol membentuk satu barisan mengepung penginapan kami. Ternyata mereka mencari sisa-sisa makanan dari turis berharap belas kasihan. Kera ini sangat sensitif dengan yang namanya kantong kresek. Setiap plastik dan kresek yang mereka lihat dianggap sebagai makanan. Maka dari itu wisatawan yang membawa camilan dan makanan harus berhati-hati jika tidak ingin bersaing dengan kera-kera ini. Mereka cukup berani meminta sisa makanan dari pengunjung. Pengunjung juga sepertinya memang sering memberikan mereka makan. Padahal pegawai taman nasional sudah memperingatkan kami untuk tidak memberikan makanan kepada binatang liar. Kebiasaan ini akan merusak habitat alami mereka. Mereka akan ketergantungan dan terbiasa meminta makanan dari wisatawan. 
Foto Buaya Air Asin

Meski begitu masih banyak wisatawan yang membandel dengan memberikan makanan untuk kebutuhan foto ataupun bersenang-senang dengan binatang liar. Bahkan ada yang sengaja memberikan makanan hingga si kera melompat kearahnya dan menyambar kantong kresek tersebut. Aku miris melihat binatang itu menjilati sisa-sisa plastik makanan dan tidak jarang dikunyahnya lalu ditelan. Ada baiknya pengelola bisa membuat himbauan tertulis mengenai larangan memberi makan binatang liar agar nantinya tidak merusak ekosistem disini.
Foto Monyet Liar
Saat mendung mulai hilang, kami mulai mengangkat barang-barang kami menuju kapal. Kami akan segera meninggalkan pulau ini. Kapal kami perlahan berlayar mengarungi samudera luas meninggalkan dermaga Peucang hanya seititk kecil di belakang. Sepanjang perjalanan memang sudah diprediksi ombak besar menghantam kami. Semua penumpang masuk ke dalam kapal dan terhanyut dalam lamunan masing-masing. Ada yang berusaha untuk tertidur diantara guncangan ombak di tengah lautan. Pulau Peucang, pulau yang sulit sekali untuk didatangi bagiku. Entah kenapa perjuangan kami semua kali ini harus dipuaskan dengan kunjungan singkat yang menantang adrenalin. Tidak dapat berjumpa dengan salah satu satwa terlangka di dunia, tidak dapat mengunjungi hutan amazonnya Indonesia, dan perjalanan yang sangat melelahkan. Meski begitu, aku senang bisa mengenal lebih dekat lagi tentang Indonesia, lebih dekat lagi dengan alam, berpikir bahwa kami manusia kecil ini bukan apa-apa dihadapan alam yang diciptakan tuhan. Kami hanya seperti titik kecil yang terombang ambing di lautan mencoba menembus batas.
 
Foto terakhir di Dermaga Sumur
Pada akhirnya kami bersyukur bisa sampai dermaga Sumur dengan selamat, meski diterpa badai bertubi-tubi. meski kami terlihat seperti pengungsi diatas kapal yang terombang-ambing. Satu yang tidak akan kami lupakan senyuman indah dan pengalaman berharga kami menyelami keindahan alam di tanah Indonesia ini.
Foto by : SM
Text by : PA