Duduk
di tepi jalan Trans-Flores, aku duduk
mengamati mereka. Katanya memang jalan trans
yang jikalau ditempat lain ramai akan hiruk pikuk kendaraan,
tetapi disini hanya hijau, burung,
belalang, bukit, segelintir manusia, dan sepi yang kulihat. Jauh sekali dari
hiruk pikuk, seperti menemukan kembali rumah yang tenang. Aku yang baru saja
tiba, duduk termenung di tepian sawah menyerap hawa panas mulai menyentuh kulit yang semakin menghitam terbakar matahari.
Siang
itu matahari bersinar terik melewati batas kewajaran tubuh kami untuk menerima
panasnya. Tapi entah mengapa sekelompok mama dan bapa di kejauhan seakan tidak
terpengaruh dengan panas yang menyengat. Berbekal tutup kepala dan baju lengan
panjang dengan tambahan sabit di tangan, mereka tersenyum berduyun datang ke
sawah. Ada yang sembari berteriak “hei nona... ikut kami mengetam”. Mengetam adalah
bahasa yang sama kita gunakan untuk menyebut panen.
Suasana panen di wilayah Tado, Manggarai Barat. Kelompok panen sedang menggerakkan sabitnya diantara terik matahari Tado |
Flores
daerah yang kering... kurasa aku boleh tidak setuju dengan pendapat yang mereka
katakan itu. Rimbunnya pepohonan, hijaunya bukit dan rerumputan, air sungai
yang jernih mengalir tenang, tanah yang ditanami padi apakah indikator dari
tanah yang tandus? Berbeda dengan konsep bahwa tanah Flores adalah surga bagi
masyarakatnya. Kehidupan bagi orang-orang yang sering disebut “orang kampung”.
Tapi kampunglah yang mendidik mereka menjadi arif dan bijaksana dengan alam,
merawat dan menjaga dengan kearifan lokal, menjaga tradisi dan adat istiadat
turun temurun. Kampunglah tempat mereka belajar untuk bisa membuat hidup mereka
bermakna, bukan kota.
Mengetam, sebuah Representasi Persaudaraan
Sistem
pembagian ladang/kebun di Manggarai memang yang paling unik. Pembagian
ruang-ruang yang berbentuk lingkaran dan berpusat di tengah menggambarkan
kesatuan dari masyarakat Manggarai. Apa yang di sebut kebun (lingko) dan titik pusat kebun (lodok) merupakan akar dari budaya persaudaraan
masyarakat. Disini terlihat bahwa kebudayaan
adalah akar untuk pangan yang berkelanjutan. Sangat menarik mempelajari
cara pembagian lahan dari masyarakat suku Manggarai dalam memilah kebunnya. Sebuah
konsep seperti jaring laba-laba (spider web rice fields) menjadi ciri
khas budaya pertanian dan perkebunan yang masih dipertahankan hingga kini,
bahkan untuk semua jenis komoditas kebun lainnya seperti kemiri, cengkeh,
kelapa, dan lain sebagainya. Menariknya lagi, dalam sebuah sistem masyarakat
adat di Manggarai Barat khususnya Tado, sang pemimpin kampung yaitu yang disebut
dengan Tua Golo akan mengadakan upacara adat sebelum melakukan pembagian lingko
ini. Selanjutnya mereka akan membagi lahan sama rata untuk membentu seperti jaring
laba-laba. Dalam setiap busur atau jaring sudah ditentukan pemiliknya dan
dibagi pada jumlah kepala keluarga yang tergabung dalam musyawarah kampung.
Sehingga, apabila dilihat dari atas maka sawah ini akan berbentuk jaring
laba-laba yang sangat indah dan membentuk pola. Dalam proses membajak sawah,
menanam, memelihara, hingga panen juga memiliki mekanisme tersendiri yang melibatkan
seluruh warga kampung secara bergantian. Hal ini memperlihatkan betapa eratnya
rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam sebuah kampung untuk memenuhi
swasembada pangan mereka sendiri. Jika Indonesia masih memikirkan dan berdebat
konsep tentang ketahanan dan swasembada pangan, maka sebuah kampung kecil di
bagian Indonesia yang bahkan sangat jauh dari ibukota sudah menerapkan konsep
ini dari nenek moyang mereka. Jauh sebelum kita mengenal berbagai konsep dan
istilah yang canggih terkadang sulit dipahami, mereka sudah mempunyai nilai dan
kebudayaannya sendiri.
![]() |
Sistem pembagian kebun/sawah (lingko) Manggarai yang melingkar dengan titik pusat di lodok |
Terkesima
mendengar penuturan mereka soal sistem mengetam di wilayah Tado. Setiap
keluarga pemilik sawah yang mengetam akan dibantu oleh keluarga lainnya juga.
Pun begitu ketika keluarga yang membantu mengetam tersebut harus mengetam di sawahnya
sendiri. Maka si keluarga yang dulu telah dibantu akan datang untuk membantu.
Cara ini disebut baku balas oleh
mereka. Sistem penyampainnya dari mulut ke mulut sehingga mereka akan
berbondong-bondong datang ke sawah yang akan panen. Mereka berpikir bahwa
gotong royong adalah hal yang sangat dibutuhkan. Jika tidak ada tetangga yang
membantu, siapa lagi yang akan datang untuk bisa membantu.
Di
dalam sistem panen, diaturlah dua kelompok yang bertugas untuk memotong tanaman
padi (mengetam) dan kelompok yang bertugas untuk mengangkut hasil potongan ke
area penampungan. Biasanya yang bertugas mengetam adalah kebanyak ibu-ibu yang
diselingi dengan beberapa orang laki-laki. Dengan berbekal sabit sebagai
senjata, satu persatu, ikat per ikat tanaman padi mulai digenggam dan dipotong
dengan sabit. Tanaman padi yang telah terpotong akan dikumpulkan di area
terdekat dari si pengetam, untuk nantinya akan diangkut oleh kelompok angkut.
Kelompok
angkut biasanya terdiri dari anak muda lelaki atau bapak-bapak yang masih
sanggup untuk mengangkat hasil panen. Kelompok ini akan mulai mengumpulkan
hasil panen menggunakan karung plastik yang telah disambung di masing-masing
ujungnya.
Suasana makan siang di sawah bersama-sama saat mengetam padi |
Meski
siang itu terik, rasa kebersamaan sambil istirahat di pematang sawah masih
terasa suasananya. Membagi nasi yang telah ditanak dari hasil panen yang
terdahulu seakan menghangatkan kebersamaan kami. Seringkali kudengar ”tambah nona”. Suasana yang
memang aku dambakan, menyantap makanan seraya duduk dengan masyarakat. Ditambah
pula aku yang memang makan banyak nasi sehingga cocok dengan mereka. Meski
hanya ikan asin dan sayur rebus lauk yang kami makan saat itu, tapi terasa
sangat berbeda dengan persaudaraan kami. Kata mereka kalau belum tambah itu
berarti belum makan. Kalau nasi belum menggunung di piring harus ditambah lagi
kedua kalinya dengan nasi yang menggunung pula. Sebuah spirit kebersamaan dan
penghargaan terhadap kelelahan mereka dalam proses menjadikan padi untuk
kembali ke padi lagi.
Dari
siang kembali ke siang lagi dikeesokan
harinya. Bunyi berisik mesin rontok padi sudah bergetar ditelingaku sejak aku
kembali datang menginjakkan kaki di sawah. Sekitar 10 (sepuluh) orang sudah
sibuk beraktivitas. Ada yang mengambilkan padi yang telah dikumpulkan, ada yang
memasukkan ke dalam mesin rontok padi. Setelah masuk mesin rontok, padi yang
tadinya masih berupa pohon sekarang mulai terlihat berbulir keluar satu per
satu dari mesin rontok padi. Kegiatan ini masih terus dilakukan berulang kali
hingga dirasa cukup banyak. Untuk mendapatkan hasil yang semakin baik, padi
yang telah rontok tersebut kembali diambil dengan menggunakan roto (anyaman pandan untuk membawa padi)
dituang dari atas melewati mesin rontok padi yang mengeluarkan udara. Hasilnya,
sisa-sisa jerami yang menempel pada padi menjadi hilang dan padi tersebut
menjadi lebih berkualitas.
Rontok padi, sebuah keakraban di antara bulir padi yang beterbangan |
Selain roto, alat lain untuk memisahkan padi dengan jeraminya adalah nyiru. Anyaman bambu yang bentuknya bulat pipih ini menjadi primadona saat masa mengetam di mulai.
![]() |
Roto-Nyiru-Sabit |
Kegembiraan Panen
Beberapa
orang anak sudah ramai saat aku tiba di sawah. Pemandangan yang menyejukkan
hati dengan tingkah lucu mereka diantara teriknya matahari Tado. Ternyata mengetam
bukanlah hanya milik orang tua. Anak-anak pun menikmatinya dengan bermain di sawah.
Seringkali alasan orang tua mereka membawa anaknya ke sawah adalah karena tidak
ada yang mengasuh di rumah mereka, sehingga anak-anak bercanda gurau di lokasi
panen. Tetapi pengalaman ini memberikan mereka sebuah memori kolektif untuk
dapat mengingat sistem menuai padi yang tentunya sudah tidak pernah dirasakan
lagi anak seumuran mereka di kota besar.
Anak
perempuan itu kusebut hiperaktif. Lucu tingkahnya membuat kami semua hanya
tertawa-tawa mendengar dia berteriak meminta perhatianku sembari bermain. Aku
tidak mengerti mengapa dia tidak gatal padahal sudah lompat keatas dan terjun
bebas di tumpukan jerami. “kakak... liat kesini..” katanya meminta perhatian
kami sementara dan masih saja lompat diatas tumpukan jerami. Sang ibu sudah
berteriak ke anaknya “heii... jangan main disana badanmu gatal semua”. Tapi
sang anak masih saja menikmati permainannya tanpa menghiraukan teriakan ibunya
yang mengatakan berhenti. Sebuah pelajaran yang dapat di petik, sang ibu hanya
membiarkan anaknya bermain. Sekali dia sebut dan anaknya tidak menghiraukan,
sang anak dibiarkan menikmati permanannya, kata sang ibu biarlah si anak
mengerti sendiri bagaimana rasanya kalau bermain di tumpukan jerami dan badan
menjadi gatal. Melalui pengalaman, mereka akan belajar melakukan atau tidak
melakukan suatu hal yang nantinya jika menurut mereka baik akan tetap dilakukan
begirupun sebaliknya.
Harapan ke depan akan hasil panen yang melimpah |
Dalam gempitanya musim panen, anak-anak bergembira, orang tua juga bahagia menyambut hasil panen yang melimpah, canda tawa anak muda dan bapak-bapak selepas bekerja menjadi pemandangan unik di sore itu. Sekitar 18 karung beras sudah dikumpulkan diikat rapi dan ditempatkan berjajar di hamparan jerami yang sudah dipanen. Harapan akan suksenya panen tahun ini akan menjadi lebih baik lagi di tahun depan selalu mengiringi perjalanan. Suksesnya panen kami diiringi dengan semaraknya pelangi di atas langit.
Jagung dan Padi di Dapur Manggarai
Dahulu,
bahan makanan pokok orang Flores adalah jagung. Berbagai olahan jagung sudah
banyak dibuat sejak jaman dahulu. Di setiap dapur di Flores khususnya Manggarai,
pasti punya perapian dan diatasnya terdapat para-para tempat untuk mengawetkan
jagung dengan pengasapan. Jagung adalah tanaman yang mudah tumbuh dengan
memerlukan sedikit air dalam masa tumbuhnya sehingga cocok untuk tumbuh di
daerah yang sedikit air.
Dalam
perkembangannya, karena perubahan
pola konsumsi di Indonesia menjadi seragam, membawa
perubahan dengan kebijakannya bahwa setiap masyarakat Indonesia harus bisa
makan nasi. Mulailah jagung dikurangi dan serentak dilakukan penanaman padi di
seluruh Indonesia termasuk juga di Flores. Meskipun
masyarakat Flores masih mengenal makanan olahan jagung tradisional mereka yang
seringkali disebut dengan jagung bose yakni campuran dari berbagai jenis
jagung, kacang-kacangan lokal khas NTT.
Saat
ini di dapur Flores telah dilengkapi dengan sistem lumbung (lancing) yang digunakan untuk menyimpan
bulir padi. Lancing ini berbentuk
lingkaran dengan diameter 80 centimeter dan tinggi sekitar 1,2 meter. Bahannya
adalah kulit bambu yang dianyam sedemikian rupa dan dibuat oleh ahli anyam di
Tado. Sehingga setiap panen, sang penganyam lancing
bisa panen 2 kali yakni panen beras dan panen pembuatan lancing.
Dari Padi kembali ke Padi
Setelah
masa panen usai, masyarakat akan bersuka cita menyambut kegembiraan panen. Lumbung
padi yang sudah mulai terisi banyak, menandakan mereka tidak akan kekurangan
beras selama beberapa bulan ke depan. Keriuhan setelah panen mulai menghilang.
Tanah itu akan jadi tanah sepi lagi, hanya tunas muda padi yang kembali tumbuh
untuk menghasilkan keriuhan berikutnya, di masa mengetam selanjutnya.