Sabtu, 02 November 2024

Perjalanan Sebulir Padi, Budaya dan Ketahanan Pangan Lokal di Kampung Tado

Duduk di tepi jalan Trans-Flores, aku duduk mengamati mereka. Katanya memang jalan trans yang jikalau ditempat lain ramai akan hiruk pikuk kendaraan, tetapi disini hanya hijau, burung, belalang, bukit, segelintir manusia, dan sepi yang kulihat. Jauh sekali dari hiruk pikuk, seperti menemukan kembali rumah yang tenang. Aku yang baru saja tiba, duduk termenung di tepian sawah menyerap hawa panas mulai menyentuh kulit yang semakin menghitam terbakar matahari.

Siang itu matahari bersinar terik melewati batas kewajaran tubuh kami untuk menerima panasnya. Tapi entah mengapa sekelompok mama dan bapa di kejauhan seakan tidak terpengaruh dengan panas yang menyengat. Berbekal tutup kepala dan baju lengan panjang dengan tambahan sabit di tangan, mereka tersenyum berduyun datang ke sawah. Ada yang sembari berteriak “hei nona... ikut kami mengetam”. Mengetam adalah bahasa yang sama kita gunakan untuk menyebut panen.

Suasana panen di wilayah Tado, Manggarai Barat. Kelompok panen sedang menggerakkan sabitnya diantara terik matahari Tado

Flores daerah yang kering... kurasa aku boleh tidak setuju dengan pendapat yang mereka katakan itu. Rimbunnya pepohonan, hijaunya bukit dan rerumputan, air sungai yang jernih mengalir tenang, tanah yang ditanami padi apakah indikator dari tanah yang tandus? Berbeda dengan konsep bahwa tanah Flores adalah surga bagi masyarakatnya. Kehidupan bagi orang-orang yang sering disebut “orang kampung”. Tapi kampunglah yang mendidik mereka menjadi arif dan bijaksana dengan alam, merawat dan menjaga dengan kearifan lokal, menjaga tradisi dan adat istiadat turun temurun. Kampunglah tempat mereka belajar untuk bisa membuat hidup mereka bermakna, bukan kota.

Mengetam, sebuah Representasi Persaudaraan

Sistem pembagian ladang/kebun di Manggarai memang yang paling unik. Pembagian ruang-ruang yang berbentuk lingkaran dan berpusat di tengah menggambarkan kesatuan dari masyarakat Manggarai. Apa yang di sebut kebun (lingko) dan titik pusat kebun (lodok) merupakan akar dari budaya persaudaraan masyarakat. Disini terlihat bahwa kebudayaan adalah akar untuk pangan yang berkelanjutan. Sangat menarik mempelajari cara pembagian lahan dari masyarakat suku Manggarai dalam memilah kebunnya. Sebuah konsep seperti jaring laba-laba (spider web rice fields) menjadi ciri khas budaya pertanian dan perkebunan yang masih dipertahankan hingga kini, bahkan untuk semua jenis komoditas kebun lainnya seperti kemiri, cengkeh, kelapa, dan lain sebagainya. Menariknya lagi, dalam sebuah sistem masyarakat adat di Manggarai Barat khususnya Tado, sang pemimpin kampung yaitu yang disebut dengan Tua Golo akan mengadakan upacara adat sebelum melakukan pembagian lingko ini. Selanjutnya mereka akan membagi lahan sama rata untuk membentu seperti jaring laba-laba. Dalam setiap busur atau jaring sudah ditentukan pemiliknya dan dibagi pada jumlah kepala keluarga yang tergabung dalam musyawarah kampung. Sehingga, apabila dilihat dari atas maka sawah ini akan berbentuk jaring laba-laba yang sangat indah dan membentuk pola. Dalam proses membajak sawah, menanam, memelihara, hingga panen juga memiliki mekanisme tersendiri yang melibatkan seluruh warga kampung secara bergantian. Hal ini memperlihatkan betapa eratnya rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam sebuah kampung untuk memenuhi swasembada pangan mereka sendiri. Jika Indonesia masih memikirkan dan berdebat konsep tentang ketahanan dan swasembada pangan, maka sebuah kampung kecil di bagian Indonesia yang bahkan sangat jauh dari ibukota sudah menerapkan konsep ini dari nenek moyang mereka. Jauh sebelum kita mengenal berbagai konsep dan istilah yang canggih terkadang sulit dipahami, mereka sudah mempunyai nilai dan kebudayaannya sendiri.

Sistem pembagian kebun/sawah (lingko) Manggarai yang melingkar dengan titik pusat di lodok

Terkesima mendengar penuturan mereka soal sistem mengetam di wilayah Tado. Setiap keluarga pemilik sawah yang mengetam akan dibantu oleh keluarga lainnya juga. Pun begitu ketika keluarga yang membantu mengetam tersebut harus mengetam di sawahnya sendiri. Maka si keluarga yang dulu telah dibantu akan datang untuk membantu. Cara ini disebut baku balas oleh mereka. Sistem penyampainnya dari mulut ke mulut sehingga mereka akan berbondong-bondong datang ke sawah yang akan panen. Mereka berpikir bahwa gotong royong adalah hal yang sangat dibutuhkan. Jika tidak ada tetangga yang membantu, siapa lagi yang akan datang untuk bisa membantu. 

Di dalam sistem panen, diaturlah dua kelompok yang bertugas untuk memotong tanaman padi (mengetam) dan kelompok yang bertugas untuk mengangkut hasil potongan ke area penampungan. Biasanya yang bertugas mengetam adalah kebanyak ibu-ibu yang diselingi dengan beberapa orang laki-laki. Dengan berbekal sabit sebagai senjata, satu persatu, ikat per ikat tanaman padi mulai digenggam dan dipotong dengan sabit. Tanaman padi yang telah terpotong akan dikumpulkan di area terdekat dari si pengetam, untuk nantinya akan diangkut oleh kelompok angkut.

Kelompok mengetam yang banyak dilakukan oleh ibu-ibu dan kelompok angkut yang biasa dilakukan laki-laki

Kelompok angkut biasanya terdiri dari anak muda lelaki atau bapak-bapak yang masih sanggup untuk mengangkat hasil panen. Kelompok ini akan mulai mengumpulkan hasil panen menggunakan karung plastik yang telah disambung di masing-masing ujungnya.

Suasana makan siang di sawah bersama-sama saat mengetam padi

Meski siang itu terik, rasa kebersamaan sambil istirahat di pematang sawah masih terasa suasananya. Membagi nasi yang telah ditanak dari hasil panen yang terdahulu seakan menghangatkan kebersamaan kami. Seringkali kudengar ”tambah nona”. Suasana yang memang aku dambakan, menyantap makanan seraya duduk dengan masyarakat. Ditambah pula aku yang memang makan banyak nasi sehingga cocok dengan mereka. Meski hanya ikan asin dan sayur rebus lauk yang kami makan saat itu, tapi terasa sangat berbeda dengan persaudaraan kami. Kata mereka kalau belum tambah itu berarti belum makan. Kalau nasi belum menggunung di piring harus ditambah lagi kedua kalinya dengan nasi yang menggunung pula. Sebuah spirit kebersamaan dan penghargaan terhadap kelelahan mereka dalam proses menjadikan padi untuk kembali ke padi lagi.

Dari siang kembali ke siang lagi dikeesokan harinya. Bunyi berisik mesin rontok padi sudah bergetar ditelingaku sejak aku kembali datang menginjakkan kaki di sawah. Sekitar 10 (sepuluh) orang sudah sibuk beraktivitas. Ada yang mengambilkan padi yang telah dikumpulkan, ada yang memasukkan ke dalam mesin rontok padi. Setelah masuk mesin rontok, padi yang tadinya masih berupa pohon sekarang mulai terlihat berbulir keluar satu per satu dari mesin rontok padi. Kegiatan ini masih terus dilakukan berulang kali hingga dirasa cukup banyak. Untuk mendapatkan hasil yang semakin baik, padi yang telah rontok tersebut kembali diambil dengan menggunakan roto (anyaman pandan untuk membawa padi) dituang dari atas melewati mesin rontok padi yang mengeluarkan udara. Hasilnya, sisa-sisa jerami yang menempel pada padi menjadi hilang dan padi tersebut menjadi lebih berkualitas.

Rontok padi, sebuah keakraban di antara bulir padi yang beterbangan

Selain roto, alat lain untuk memisahkan padi dengan jeraminya adalah nyiru. Anyaman bambu yang bentuknya bulat pipih ini menjadi primadona saat masa mengetam di mulai.

Roto-Nyiru-Sabit

Kegembiraan Panen

Beberapa orang anak sudah ramai saat aku tiba di sawah. Pemandangan yang menyejukkan hati dengan tingkah lucu mereka diantara teriknya matahari Tado. Ternyata mengetam bukanlah hanya milik orang tua. Anak-anak pun menikmatinya dengan bermain di sawah. Seringkali alasan orang tua mereka membawa anaknya ke sawah adalah karena tidak ada yang mengasuh di rumah mereka, sehingga anak-anak bercanda gurau di lokasi panen. Tetapi pengalaman ini memberikan mereka sebuah memori kolektif untuk dapat mengingat sistem menuai padi yang tentunya sudah tidak pernah dirasakan lagi anak seumuran mereka di kota besar.


Kegembiraan anak-anak Tado menyambut panen, seorang anak perempuan asyik bermain diatas tumpukan jerami

Anak perempuan itu kusebut hiperaktif. Lucu tingkahnya membuat kami semua hanya tertawa-tawa mendengar dia berteriak meminta perhatianku sembari bermain. Aku tidak mengerti mengapa dia tidak gatal padahal sudah lompat keatas dan terjun bebas di tumpukan jerami. “kakak... liat kesini..” katanya meminta perhatian kami sementara dan masih saja lompat diatas tumpukan jerami. Sang ibu sudah berteriak ke anaknya “heii... jangan main disana badanmu gatal semua”. Tapi sang anak masih saja menikmati permainannya tanpa menghiraukan teriakan ibunya yang mengatakan berhenti. Sebuah pelajaran yang dapat di petik, sang ibu hanya membiarkan anaknya bermain. Sekali dia sebut dan anaknya tidak menghiraukan, sang anak dibiarkan menikmati permanannya, kata sang ibu biarlah si anak mengerti sendiri bagaimana rasanya kalau bermain di tumpukan jerami dan badan menjadi gatal. Melalui pengalaman, mereka akan belajar melakukan atau tidak melakukan suatu hal yang nantinya jika menurut mereka baik akan tetap dilakukan begirupun sebaliknya.

Harapan ke depan akan hasil panen yang melimpah

Dalam gempitanya musim panen, anak-anak bergembira, orang tua juga bahagia menyambut hasil panen yang melimpah, canda tawa anak muda dan bapak-bapak selepas bekerja menjadi pemandangan unik di sore itu. Sekitar 18 karung beras sudah dikumpulkan diikat rapi dan ditempatkan berjajar di hamparan jerami yang sudah dipanen. Harapan akan suksenya panen tahun ini akan menjadi lebih baik lagi di tahun depan selalu mengiringi perjalanan. Suksesnya panen kami diiringi dengan semaraknya pelangi di atas langit.

Jagung dan Padi di Dapur Manggarai

Dahulu, bahan makanan pokok orang Flores adalah jagung. Berbagai olahan jagung sudah banyak dibuat sejak jaman dahulu. Di setiap dapur di Flores khususnya Manggarai, pasti punya perapian dan diatasnya terdapat para-para tempat untuk mengawetkan jagung dengan pengasapan. Jagung adalah tanaman yang mudah tumbuh dengan memerlukan sedikit air dalam masa tumbuhnya sehingga cocok untuk tumbuh di daerah yang sedikit air.






Jagung awetan diatas perapian dan padi di dalam lancing

Dalam perkembangannya, karena perubahan pola konsumsi di Indonesia menjadi seragam, membawa perubahan dengan kebijakannya bahwa setiap masyarakat Indonesia harus bisa makan nasi. Mulailah jagung dikurangi dan serentak dilakukan penanaman padi di seluruh Indonesia termasuk juga di Flores. Meskipun masyarakat Flores masih mengenal makanan olahan jagung tradisional mereka yang seringkali disebut dengan jagung bose yakni campuran dari berbagai jenis jagung, kacang-kacangan lokal khas NTT.

Saat ini di dapur Flores telah dilengkapi dengan sistem lumbung (lancing) yang digunakan untuk menyimpan bulir padi. Lancing ini berbentuk lingkaran dengan diameter 80 centimeter dan tinggi sekitar 1,2 meter. Bahannya adalah kulit bambu yang dianyam sedemikian rupa dan dibuat oleh ahli anyam di Tado. Sehingga setiap panen, sang penganyam lancing bisa panen 2 kali yakni panen beras dan panen pembuatan lancing.

Dari Padi kembali ke Padi

Setelah masa panen usai, masyarakat akan bersuka cita menyambut kegembiraan panen. Lumbung padi yang sudah mulai terisi banyak, menandakan mereka tidak akan kekurangan beras selama beberapa bulan ke depan. Keriuhan setelah panen mulai menghilang. Tanah itu akan jadi tanah sepi lagi, hanya tunas muda padi yang kembali tumbuh untuk menghasilkan keriuhan berikutnya, di masa mengetam selanjutnya.

 

Euforia pasca panen yang kembali sepi, bibit muda padi kembali tumbuh