Jumat, 28 Agustus 2020

Negeri Para Dewa

Malam itu gelap. Jakarta sibuk seperti biasanya. Meski malam sudah mulai larut dan pagi akan mulai menjemput. Kereta malam Purwojaya akan jadi teman perjalanan dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Purwokerto. Waktu perjalanannya sekitar 5,5 jam. Beranjak meninggalkan kota Jakarta, seperti meninggalkan kerlip lampu dan keramaian, pergi melarikan diri sejenak dari pekatnya ibukota, ke tempat indah yang sering mereka sebut sebagai negeri para dewa. Meneguk sebersit kebahagiaan untuk menangkap semangat kembali lagi ke kota ini.

Akses

Untuk menuju Dieng, sebenarnya ada beberapa alternatif perjalanan yaitu dengan pesawat terbang, kereta api, menggunakan bus, dan tentunya kendaraan pribadi. Apabila menggunakan bus, dapat menumpangi bus jurusan Jakarta-Wonosobo, turun di alun-alun Wonosobo, dan menunggu bus kecil yang akan membawa penumpang menuju Dieng. Apabila menggunakan pesawat terbang kita dapat menuju kota Semarang atau bahkan Yogyakarta (apabila ingin menjelajah kota Yogya terlebih dahulu). Akan tetapi secara jarak, tentunya akan lebih efektif menuju kota Semarang lalu menggunakan kendaraan darat menuju Dieng. Terakhir adalah menggunakan kereta api. Kami rasa rute ini paling mudah digunakan bagi kami yang biasa melakukan perjalanan santai dan mengendarai sepeda motor sendiri. Untuk menuju Dieng, kota terdekat yang harus dituju adalah kota Wonosobo. Secara administratif kawasan Dieng terletak di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada perjalanan kereta menuju kota Wonosobo sehingga kami putuskan untuk berhenti di stasiun Purwokerto karena jaraknya yang paling dekat dari Jakarta. Dari stasiun Purwokerto, dapat melakukan perjalanan darat sekitar 2 jam hingga sampai di kota Wonosobo. Dan dari kota Wonosobo, kita harus melakukan perjalanan darat lagi selama sekitar 1 jam. Jadi, untuk mencapai kawasan Dieng dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Purwokerto.

12 September 2019

Perjalanan kali ini menuju Dieng ditemani dengan gelapnya malam dan dinginnya pendingin ruangan di dalam kereta. Di akhir pekan seperti ini kereta memang penuh dengan penumpang yang ingin berjalan-jalan, pergi ke kampung halaman, dan kegiatan yang lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.05 saat kereta Purwojaya yang kami tumpangi berjalan perlahan dari stasiun. Dari awal perjalanan lebih baik mencoba untuk terlelap karena menumpang kereta malam akan banyak menghabiskan energi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik untuk beristirahat. Awalnya memang sulit untuk memejamkan mata saat melewati stasiun Manggarai dan Jatinegara yang masih terang dan  ramai oleh penumpang KRL Jabodetabek. Lama kelamaan kereta mulai meninggalkan ibukota dan diluar mulai terlihat gelap. Entahlah apakah kami melewati persawahan atau beberapa perumahan penduduk yang membawa kami ke dalam lamunan masing-masing. Tak terasa kantuk pun menghampiri dan kami penumpang kereta ini mulai terlelap meninggalkan celoteh riang dalam gerbong yang sepi.

Beberapa kali aku masih terbangun karena memang tidur selama perjalanan kurang nyaman buatku. Aku yang hanya bisa tidur dengan nyaman saat terlentang diatas kasur pun kesulitan untuk menyesuaikan diri. Selama hampir 3 jam perjalanan kereta yang kami tumpangi akhirnya sampai di stasiun Cirebon untuk melakukan turun naik penumpang. Kereta ini selanjutnya akan melanjutkan perjalanan menuju selatan Jawa menuju Purwokerto dan berakhir di Cilacap.

13 September 2019

Kami tiba di stasiun Purwokerto sekitar pukul 03.00 pagi dengan udara dingin dan aroma khas kota kecil di Jawa. Bukan udara pegunungan, bukan juga udara pantai. Stasiun ini terletak di tengah kota Purwokerto dan merupakan salah satu stasiun yang cukup besar di kawasan Jawa Tengah. Daerah ini merupakan kawasan tengah pulau Jawa dan secara administratif Purwokerto berada di wilayah Kabupaten Banyumas.

Menginap sementara di Purwokerto menjadi pilihan karena kedatangan kami yang masih terlalu pagi. Sebetulnya ada beberapa hotel di sekitar stasiun yang dapat dijadikan alternatif pilihan. Hanya saja kami mencoba salah satu hotel yang berada di jalan utama kota. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 km. Dari kawasan stasiun, ada beberapa alternatif  transportasi untuk keluar seperti ojek, becak, ataupun transportasi online. Kami akhirnya memesan transportasi online akan tetapi harus berjalan kaki keluar kawasan stasiun. Setelah berjalan sekitar 10 menit kami bisa keluar stasiun dan melihat supir yang menjemput kami. Ternyata memang transportasi online tidak dapat masuk dengan mudah ke dalam kawasan stasiun. Ada larangan aturan seperti di berbagai daerah lain di Indonesia. Tak sampai 5 menit, mobil yang kami tumpangi sudah berada di depan titik penginapan yang kami maksud. Aku menatap keluar jendela tetapi tidak menemukan satu pun bangunan dengan tulisan penginapan ataupun yang terlihat seperti penginapan. Aku agak bingung karena mobil yang kami tumpangi tidak membantu kami mencari alamat. Dengan bingung aku pun keluar dari dalam mobil menuju kegelapan pagi buta di dalam kota Purwokerto. Tepat di samping trotoar itu ada sebuah gang yang berukuran lebar 2,5 meter. Aku pun masuk ke dalam dan mencoba mencari penginapan tersebut. Sedangkan kawanku mencoba menghubungi pihak penginapan menanyakan tentang keberadaaan dari penginapan tersebut. Aku menyusuri gang tersebut, tidak sampai ujungnya karena di dalam agak menyempit. Penerangan juga minim. Hanya ada satu dua lampu milik perorangan yang terpasang di sudut masing-masing bangunan rumah. Jalanan tersebut juga sangat sepi dengan ketiadaan penjaga ataupun orang yang sekedar lalu lalang. Karena merasa tidak aman kuputuskan untuk segera keluar dari gang tersebut dan kembali ke trotoar di jalan utama untuk melihat kawanku. Ternyata ia berhasil menghubungi pihak penginapan dan terlihat salah seorang petugas penginapan membuka pintu tepat di belakang kami. Pintu tersebut dari besi dan baja, memiliki tinggi sekitar 3 meter, dan tertutup rapat. Sangat unik ada penginapan tanpa papan nama dan pintu masuk yang sangat tertutup seperti kunjungan ke dalam penjara. Namanya Halona Residence dengan harga sekitar Rp 200.000-an. Kami masuk melalui gang dan resepsionis yang sudah tidak ada petugasnya karena larut malam. Di tengan bangunan penginapan terdapat halaman yang sudah diperkeras dengan semen dan bangunan bertingkat 3 mengelilingi kami. Bangunan tersebut adalah kamar-kamar hotel yang mungkin sudah berpenghuni. Kami pun diajak naik ke lantai 2 untuk menuju kamar kami. Kamarnya tidak terlalu besar tetapi cukup untuk kami melepas lelah dan tidur hingga matahari terbit dan kami bisa melanjutkan perjalanan dengan mengendarai sepeda motor. Kamarnya juga cukup bersih dan fasilitasnya juga cukup memadai. Rencananya pagi ini juga sekitar pukul 10.00 kami akan beranjak dari kota Purwokerto langsung menuju Dieng.

Cukup tidur pagi harinya kami menunggu kedatangan motor sewaan yang akan membawa kami berangkat ke Dieng. Ternyata menyewa motor di kota Purwokerto cukup memuaskan. Selain tepat waktu, pemiliknya juga ramah, fasilitas yang motor disewakan juga dalam keadaan bagus dengan tahun keluaran yang relatif baru. Ini pertama kalinya kami menyewa motor matic 135 cc untuk jalan-jalan. Harganya juga tidak terlalu mahal sekitar Rp. 120.000/hari. Kami biasanya menyewa motor matic yang CC-nya lebih kecil seringkali kesulitan digunakan untuk melalui jalan berbatu, berliku, dan menanjak. Jadi karena harga liburan yang cukup murah kami putuskan untuk menyewa kendaraan yang lebih baik. Memang benar saja untuk digunakan selama jarak jauh, kendaraan ini sangat nyaman. Selesai bertukar identitas dengan pemilik motor, kami melanjutkan untuk mencari sarapan di kota Purwokerto ini. Kawanku yang pandai mencari spot kulineran di internet mengajakku untuk makan sroto. Ternyata ini memang makanan khas Purwokerto. Yang terkenal Sroto Soekaraja. Tetapi pagi ini mereka tutup dan kami mencari warung sroto lain di sebelahnya. Aku lupa nama tempatnya tetapi yang jelas sroto di sini cukup enak bagi penggemar makanan kuah bening seperti kami. Di dalam semangkuk sroto ada sensasi unik yang belum pernah saya rasakan di soto yaitu sensasi kacang tanah rebus di dalam kuah soto yang dihaluskan seperti bumbu pecel. Tetapi cita rasanya sangat berbeda dengan bumbu pecel. Di dalamnya juga terdapat varian rasa kerupuk, ditaburi daun bawang dan kuah kaldu yang hangat. Untuk dagingnya dapat menggunakan daging ayam atau daging sapi. Termasuk juga ceker, jeroan ataupun bahan-bahan lain yang dimasukkan. Karena tidak terbiasa dengan makanan seperti itu, kami memutuskan hanya mengisi sotonya dengan suiran daging ayam. Sangat cocok untuk sarapan pagi dengan kuah hangat ditemani dengan segelas teh manis yang juga hangat.

Foto Sroto Ayam


Perjalanan ke Dieng akan cukup jauh. Perlahan-lahan kami mulai meninggalkan kota Purwokerto. Sebelum masuk kota Wonosobo, tepatnya masih di wilayah Banjarnegara, kami mengambil arah ke utara. Jalannya lebih menanjak dan lebih sepi, tetapi pemandangan yang disuguhkan sangat indah. Hamparan kebun sayur dan tanaman bunga-bungaan menghiasi di sepanjang jalan. Sepertinya memang komoditi utama di desa-desa kawasan dataran tinggi Banjarnegara dan Wonosobo adalah sayur mayur. Yang agak berbahaya adalah para petani sudah mulai menggarap hutan di kaki gunung bahkan hingga sampai pinggang dengan komoditas tanaman sayur. Apabila tidak di mitigasi dengan baik, bukan tidak mungkin kawasan tersebut akan mudah terjadi longsor.

Foto Lahan Tanaman Sayur
Foto salah satu desa di jalan menuju Dieng

Perjalanan kurang lebih selama 3 jam, sekitar pukul 13.00 siang akhirnya kami tiba di dataran tinggi Dieng. Pantas saja memang betul-betul dingin dengan ketinggian rata-rata 2000 mdpl. Kami memutuskan untuk segera menuju penginapan terlebih dahulu, menata barang-barang dan merencanakan perjalanan. Penginapan kami berada di kawasan Dieng. Namanya Homestay Dieng Cool dengan harga kamar standar sekitar Rp. 250.000/malam/kamar. Memang sesuai dengan namanya penginapannya sangat dingin apalagi pada malam hari. Kami memesan langsung lewat whatsapp dan bertanya langsung pada pemiliknya. Sebelum memilih tempat menginap kami juga meriset lewat internet tentang fasilitas yang mereka tawarkan. Dan lucunya sampai di tujuan kami memang diberi kamar di lantai 2. Kamarnya cukup lumayan mungkin sekitar 12 m2. Dilengkapi dengan tempat tidur dan seprei seperti homestay pada umumnya. Lantainya juga dilapisi dengan karpet mungkin karena di Dieng wilayahnya sangat dingin, maka lantai kamar pun dilengkapi dengan karpet. Di ujung kamar juga terdapat kamar mandi yang lengkap dengan peralatan mandi. Kamarnya cukup sesuai dengan keinginan akan tetapi satu hal yang membuat ketidaknyamanan adalah air hangat yang sangat tidak hangat. Kata pemilik homestay air hangat mandi akan terasa setelah menunggu beberapa menit. Akan tetapi sampai 5 menit kami menampung air, air hangatnya hanya berupa suam-suam kuku. Sebaiknya tips memilih penginapan di Dieng harus dilengkapi dengan air panas. Kalau tidak, kita akan sangat kesulitan untuk mandi. Karena sudah dipesan, mau tidak mau selama 2 malam kami akan menginap disini dan menikmati dinginnya Dieng. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mencari makan siang untuk mengisi perut yang sudah lapar. Kami memutuskan untuk makan sate ayam di kawasan pintu masuk menuju Dieng dari Wonosobo. Sate ayamnya cukup enak mungkin karena kami sangat kelaparan. Sedangkan kawanku juga memesan semangkuk mie Ongklok yang terkenal di Dieng. Rasa mie Ongklok tidak seenak harapanku. Rasa mienya bercampur dengan manis dan asin entah bumbu apa yang tidak kukenali. Kuah kentalnya juga tidak terlalu enak dengan mie yang cukup keras. Mungkin kali ini kami salah memilih spot untuk makan mie Ongklok. Rasanya tidak sesuai dengan lidah kami. Tapi memang sesuai dengan beberapa blog yang kami baca bahwa makanan di kawasan Dieng memang tidak terlalu memuaskan. Kurang ada variasi makanan berat yang khas dan enak. Jadi agak sulit untuk menemukan makanan yang betul-betul enak dan sesuai dengan lidah di Dieng ini. Akan tetapi makanan seperti roti, kopi, pisang goreng, dan camilannya cukup enak daripada makanan berat seperti nasi dan lauk pauknya.

Setelah perut kami terisi, sesuai dengan rencana perjalanan kami, tujuan pertama kami datang ke Dieng adalah untuk melihat keindahan Lembah Semurup. Semangat akan melakukan perjalanan dan trekking menuju lembah Semurup, kami menyiapkan peralatan seperti jas hujan, makanan, jacket, sarung tangan, dan tidak lupa kamera untuk mengabadikan perjalanan kali ini. Motor yang kami sewa juga sudah kami persiapkan dengan baik. Seperti biasa kawanku akan mengemudikan kendaraan dan aku akan memegang navigasi melalui google maps. Begitulah biasanya kami bertualang selama ini. Kami sudah berkeliling mencari lokasi Lembah Semurup ternyata tidak kelihatan juga ternyata setelah kami tanyakan pada penduduk sekitar. Apabila dicari di google maps bisa di search dengan “Basecamp Pendakian Gunung Pangonan”. Hati-hati jika mencari di internet akan banyak tentang Gunung Pangonan dan Lembah Semurup yang beradi di Jambi ataupun Lampung dan bukan di Dieng. Maka dari itu apabila ingin mencari informasi kita bisa menuliskan Lembah Semurup Dieng. Ternyata kawasan ini merupakan kawasan cagar alam Gunung Pangonan.  Dan yang lebih lucu lagi, ternyata tempatnya persis di sebelah penginapan kami. Kami ingin tertawa saat mengetahui hal ini. Sebelumnya kami sudah memutar mencari lokasi Lembah Semurup ini tetapi menemukan kenyataan bahwa letaknya sangat dekat. Setelah di browsing di internet, ternyata untuk masuk ke Lembah Semurup ini ada pendaki yang naik dari candi Arjuna melewati kawah Sikidang dengan jalur yang penuh dengan rerumputan liar yang tumbuh tinggi. Akan tetapi pintu masuk tersebut bukan pintu masuk yang resmi. Pintu masuknya ada di sebelah penginapan kami ini. Oleh karena itu kami memutuskan untuk memarkir kendaraan di homestay dan berjalan kaki menuju pintu masuk Gunung Pangonan ini. Pada saat kami datang, mungkin sudah sekitar pukul 14.30 tidak ada penjaga tiket ataupun retribusi masuk ke kawasan wisata ini. Jadi kami langsung melenggang masuk saja. Mungkin hanya kami berdua yang akan mendaki hari ini. Memang kawasan pendakian Gunung Pangonan ini tidak se populer pendakian menuju Gunung Prau ataupun Puncak Sikunir. 

Di kawasan pintu masuk kami sudah disuguhi jalur yang cukup curam sekitar 600 kemiringan dan memanjat tangga bambu yang susah disiapkan. Jaraknya juga cukup lumayan mungkin sekitar 500 meter. Kami juga melewati pipa gas Geodipa yang melintang di jalur pendakian. Jalur menuju Bukit Pangonan dan Lembah Semurup ini masih sangat ramah terhadap pendaki pemula. Waktu tempuhnya pun tidak teralalu jauh. Awalnya kami browsing menemukan bahwa jarak tempuhnya hanya 30 menit. Akan tetapi setelah dijalani ternyata hampir 45 menit-1 jam perjalanan. Apa mungkin jalur yang kami ambil cukup jauh dan berbeda dengan pendaki lainnya atau memang kami yang sangat lambat. Terlepas dari itu semua, kami sangat menikmati perjalanan menuju puncak. Trek awalnya memang cukup terjal, tetapi setelah ketinggian tertentu jalanan cukup datar dan kita bisa melihat Kawah Sikidang dari kejauhan. Selain itu juga terlihat perumahan penduduk dan garis-garis lahan pertanian Dieng yang cukup rapi. Selain itu di perjalanan kami dimanjakan oleh tanaman liar. Misalnya saja beri liar hutan dan bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan.


Foto bunga liar dan beri liar

Sampai di puncak Pangonan, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan Lembah Semurup dari atas. Di kejauhan akan terlihat rerumputan berwarna kecoklatan seperti bulu-bulu halus. Di kejauhan juga terlihat pepohonan berdaun pinus berupa hutan lebat yang mengelilingi padang rumput Lembah Semurup. Pemandangan dari puncak bukit yang sangat indah. Setelah puas melihat pemandangan di puncak bukit, kami meneruskan perjalanan menuju lembah. Setelah itu jalur yang kami lalui mulai menurun menuju Lembah Semurup.

Foto Lembah Semurup dari puncak Pangonan

Sampai di Lembah Semurup setelah menyibak pepohonan dan semak belukar, yang paling pertama dilakukan adalah merebahkan diri diantara rerumputan yang menguning. Mendengarkan suara angin yang bergemerisik meniup rerumputan. Mereka saling bergesekan satu sama lain menghasilkan suara yang sangat nyaman didengar telinga. Belum lagi suara cicit burung-burung kecil yang beterbangan. Memang seperti ini rasanya mendengarkan suara alam. Awalnya lembah ini merupakan telaga yang sudah mengering karena airnya turun ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Mungkin karena letaknya yang cukup tinggi sehingga rembesan air dimungkinkan untuk turun. Lama kelamaan setelah mengering mulai tumbuh rerumputan sehingga ceruk bekas danau ini terlihat seperti lembah padang rumput yang sangat luas. Di kawasan ini juga tidak boleh menyalakan api karena sangat api dapat sangat rentan membakar rerumputan kering yang tumbuh. Sekitar pukul 15.30 kami memutuskan untuk segera turun sebelum hari gelap. Karena memang hanya kami berdua yang mendaki Bukit Pangonan pada hari itu. Perjalanan kembali memang ditempuh lebih cepat daripada perjalanan berangkat. Perjalanan kembali ke homestay hanya kami tempuh sekitar 30 menit. Saat kembali kami baru tersadar ada pepohonan khas Dieng yaitu pohon Carica. Pohon pepaya dengan buah dalam ukuran mini atau sering disebut pepaya gunung. Carica adalah pohon khas Dieng berupa pepaya dan banyak digunakan sebagai manisan oleh penduduk lokal. Konon pohon carica ini hanya dapat tumbuh di Dieng. Manisan Carica adalah salah satu komoditas oleh-oleh dari Dieng. Rasanya manis karena buah pepaya tersebut direndam dalam cairan gula. Hampir setiap industri rumah tangga memproduksi manisan ini karena mcukup bernilai jual. Selain Carica, ada juga pohon terong belanda di depan pintu masuk menuju Lembah Semurup.

Foto terong belanda dan carica

Kembali dari lembah Semurup, perjalanan kami lanjutkan menuju Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Jaraknya tidak jauh dari homestay kami. Memang jarak kawasan wisata di Dieng tidaklah jauh karena berkumpul di satu kawasan seperti Lembah Semurup, kawasan Telaga, kawasan Kawah, dan kawasan Candi. Kami membayar karcis masuk untuk 2 orang dan kebetulan kawasan wisata ini hanya buka hingga pukul 17.00. Artinya waktu kami sangat sedikit untuk menjelajahi telaga ini. Pemandangan Telaga Warna dari pintu masuk kawasan tidaklah terlalu indah. Kami mengincar pemandangan kedua telaga ini dari atas. Kami akan melakukannya esok hari. Kali ini hanya sisa beberapa wisatawan yang berfoto di pinggir telaga. Airnya berwarna kehijauan dan biru, ditambah kandungan belerang yang membuatnya menjadi agak putih kekuningan. Terdapat jalan memutari telaga, akan tetapi kami tidak dapat menjelajahi semuanya karena akan melebihi 1 jam untuk perjalanan keliling. Maka dari itu kami putuskan untuk keluar dan mencari menuju gardu pandang Tieng sekaligus mencari lokasi pendakian ke Sikunir besok pagi. 

 

Foto telaga warna



Gardu Pandang Tieng merupakan sebuah tempat untuk memandang Gunung Sindoro dikejauhan. Dari kawasan wisata Telaga Warna kita harus menggunakan kendaraan bermotor menuju jalur Dieng-Wonosobo dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Letaknya persis di pinggir jalan utama jadi kita tidak terlalu sulit untuk mencarinya. Di sepanjang jalan kita akan melihat jalur menuju puncak Gunung Prau, juga lahan-lahan pertanian Dieng yang berundak-undak diantara perumahan penduduk. Sore itu pemandangan kami tertutup kabut meski tidak pekat. Memang sebaiknya datang ke gardu pandang ini saat tidak berkabut di pagi hari. Jika menjelang siang dan sore pemandangan Gunung Sindoro akan mulai tertutup kabut. Di gardu pandang ini juga tidak terdapat papan penanda kawasan sehingga kita harus ekstra memperhatikan jalanan atau bertanya pada penduduk setempat. Kawasan Gardu Pandang Tieng ini tidak terlalu luas, hanya dipergunakan sebagai area istirahat bagi pengunjung luar kota yang ingin istirahat sejenak menikmati pemandangan sebelum masuk ke kawasan Dieng. Disini terdapat beberapa parkir mobil, parkir sepeda motor, toilet, dan warung-warung kecil yang menyajikan snack dan minuman hangat. Selain itu juga terdapat rumah makan di bawah kawasan view point. Udara yang cukup dingin membuat perut selalu kelaparan dan ingin selalu diisi makanan. Maka dari itu kami memesan minuman hangat dan makanan ringan seperti gorengan tahu. Sembari menunggu kabut agak mereda, dengan harapan dapat menyaksikan matahari terbenam, kami menyantap makanan kecil di pinggir tebing. Ada beberapa gerombolan pendaki yang sepertinya baru datang beristirahat disana. Mungkin mereka akan mendaki Gunung Prau dengan perlengkapan tas besar dan carrier yang mereka bawa. Tak berapa lama, Gunung Sindoro dan matahari terbenam memperlihatkan sedikit puncaknya pada kami. Ada sedikit gurat matahari terbenam meskipun sisanya tertutup kabut. Sepertinya kali ini kami harus puas dengan melihat Puncak Sindoro yang terlihat sangat datar dan luas di puncaknya dengan lembah dan bukit dikejauhan. 

Foto puncak Sindoro

Puas melihat puncak Sindoro yang sepertinya tidak akan menampakkan dirinya lagi, kami bersiap untuk mencari jalur pendakian menuju Bukit Sikunir esok hari. Sesuai dengan yang tertulis di google maps, jalan masuk menuju Bukit Sikunir tidak jauh dari jalan utama tempat kami berada saat ini. Masuknya dari jalan utama. 2 kali kami bolak balik di sekitar jalan tersebut, hanya ada jalanan tanah tanpa aspal yang bolong disana sini. Bahkan ada beberapa bebatuan yang lepas dan terlihat curam. Alhasil kami berinisiatif untuk bertanya pada warga yang kebetulan lewat. Warga lokal disini sangat baik menjawab pertanyaan yang kami ajukan. Awalnya kami diajak berbahasa Jawa. Setelah kami mengatakan berangkat dari Jakarta, ia mulai megerti dan menggunakan bahasa Indonesia. Ternyata jalan yang kami lalui bukan jalur yang biasa dipakai oleh pendaki. Memang secara jarak, dari lokasi ini akan lebih dekat. Akan tetapi jalur yang dilewati tidak bisa menggunakan kendaraan bermotor karena jalanan yang tidak diaspal. Untuk mencapi Bukit Sikunir melalui jalur biasa dapat melewati kawasan wisata Dieng, kawah Sikidang, unit Geodipa, dan memasuki desa Sembungan dengan tagline desa tertinggi di pulau Jawa. Jadi, kami  harus memutar kembali mengambil arah menuju homestay tempat kami menginap dan mulai dari sana, harus menyusuri jalan menuju Bukit Sikunir. Jarak tempuh yang harus kami lalui kembali adalah sekitar 12 km, akan tetapi semburat merah matahari terbenam sudah mulai hilang dari langit. Hari ini sudah hampir petang tapi kami masih dijalan dan belum menemukan jalan masuk Sikunir yang kami cari. Perjalanan kembali ke kawasan wisata Dieng cukup memakan waktu sekitar 30 menit. Ternyata selepas magrib penduduk Dieng tidak ada yang berkeliaran di jalan. Hawa dingin yang menusuk dan kabut tebal membuat mereka lebih senang tinggal dirumah disamping perapian. Sore menjelang malam ini suhu udara di ponsel kami menunjukkan angka 120C. Sampai di depan homestay kami masih harus melanjutkan perjalanan untuk survey jalur. Aku sudah tidak melihat jam tangan lagi, yang jelas gelap malam sudah menyergap kami. Di depan pembangkit Geo Dipa, kami melihat nyala api yang terang diantara gelapnya malam Dieng dan bintang cerah bertaburan di langit malam. Kami penasaran dan berhenti di pinggir jalan. Betul-betul tidak ada penduduk yang lewat hanya sesekali mobil minibus yang sepertinya bukan wisatawan. Anjing melolong, nyala api semakin besar dan kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Sepertinya nyala api itu bersumber dari panas kawah yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Semakin malam semakin sepi dan semakin dingin menusuk hingga jari-jari tangan kami kebas. Akhirnya kami sampai juga di pintu masuk Desa Sembungan, pintu masuk untuk pendakian ke Bukit Sikunir. Ada penjaga tiket di pintu masuk desa yang sepertinya abai dengan kedatangan kami. Memang malam bukan waktunya untuk mendaki, jadi mereka tidak memungut retribusi. Kami memasuki kawasan desa yang banyak terdapat homestay tempat menginap, ada beberapa warung kebutuhan pokok yang buka, dan beberapa mobil pengantar kebutuhan pokok parkir di samping jalan. Lebar jalan masuk sekitar 4 meter dengan got di kiri dan kanan. Sepanjang jalan banyak terdapat marka kejut dengan jalanan yang dilapisi beton. Semakin dekat ke lapangan parkir pendakian Sikunir, banyak penginapan atau homestay yang sepertinya tidak dihuni oleh wsiatawan. Memang homestay di kawasan ini hanya diperuntukkan untuk orang yang akan melakukan pendakian ke Sikunir. Kawasan pusat Wisata Dieng cukup jauh dari sini, sekitar 30 menit lagi dengan perjalanan kendaraan bermotor. Kami rasa banyak wisatawan yang menginap di sekitar tempat penginapan kami dan berangkat pagi-pagi buta untuk menuju Sikunir.

Familiar dengan jalur yang akan kami lewati besok, kami bertanya pada pedagang kios yang ada di kawasan parkir tersebut. Memang betul ini jalurnya dan biasanya pendaki sudah tiba sekitar pukul 04.00 untuk memulai pendakian. Puas menemukan jalur yang kami cari, kami memutuskan untuk kembali ke homestay dengan dingin yang menusuk sepanjang perjalanan. Aku berpikir agar tidak kedinginan di atas motor, kami seperti orang gila yang menggunakan jas hujan selagi tidak hujan. Baru kali ini aku memakai jas hujan untuk menghalau dingin yang menusuk tulang.

Malam ini kami putuskan menu makan malam kami adalah ayam goreng yang ada di dekat homestay. Aku sudah tidak sanggup lagi menuju kawasan kuliner di pintu masuk karena dingin yang sangat menusuk. Kami minum teh hangat yang disediakan dan tahu goreng yang sudah dingin sambil menunggu ayam goreng kami matang. Tangan terasa kebas dan sakit meski sudah memakai sarung tangan. Ayam yang disajikan tidak terlalu menggugah seleraku. Rasanya kurang menggugah selera dan saat membayar harganya cukup fantastis untuk seporsi pecel ayam Rp. 35.000, yang di Jakarta dapat kita peroleh dengan harga Rp. 20.000. Memang di Dieng ini tidak banyak penjual makanan enak. Makanan khasnya pun juga terkadang sulit diterima lidah. Yang mudah diterima hanyalah gorengan dan teh manisnya. Aku memutuskan untuk membungkus satu lagi ayam dengan harapan bisa kami nikmati esok pagi untuk bekal perjalanan ke Sikunir. Aku enggan kembali ke homestay karena sudah merasa hangat di bilik warung makan ayam tersebut. Jadi, sekali kita menghangatkan badan dan beristirahat, nantinya akan sangat sulit untuk bangun dan berjalan kembali karena badan sudah terasa hangat. Selain itu hari pertama ini tubuh kami menyesuaikan diri sesuai iklim setempat sehingga rasa malas dan dingin yang menyergap kami sangat menyiksa. Tetapi bagaimanapun kami tetap menjalankan kendaraan dan pulang ke homestay untuk beristirahat meski terakhir kami cek suhu udara sudah mencapai 90C di pukul 19.30 malam.

14 September 2019

Aku dibangunkan oleh kawanku sekitar jam 03.00 pagi. Sungguh bangun yang sangat menyiksa mengingat hanya dalam selimut yang terasa hangat. Meski sudah di dalam kamar udara dingin masih tetap menusuk apalagi diluar sana. Semalam aku tidak mandi hanya menggosok gigi dan mencuci muka yang sangat menyiksa dengan air dingin. Rasanya semalam aku rela menukarkan apapun untuk berendam air panas, bukan hanya air hangat. Aku bisa tidur dengan mudah, tetapi lain dengan kawanku. Sepertinya ia tidak bisa tidur semalam karena udara dingin. Bangun pagi ini terasa menyiksa dengan kepala yang masih melekat di bantal dan mata yang masih terpejam. Awalnya aku sudah mengatakan untuk tidak perlu melanjutkan menuju puncak Sikunir karena sepertinya aku tidak sanggup. Kawanku sudah menyetujui dan ia memcoba untuk tidur kembali. Saat itulah malah aku yang tidak bisa tidur lagi, memutuskan untuk bangun dan menengok keluar. Ternyata diluar banyak rombongan yang akan pergi menggunakan minibus. Aku membangunkan kawanku dan mengatan siap mendaki puncak Sikunir pagi ini. Dengan sedikit jengkel dan cemberut karena mulai bisa tidur, akhirnya kawanku bersedia untuk melihat Golden Sunrise Sikunir. Aku bersiap dengan menggunakan beberapa baju tambahan 3 lapis termasuk jacket karena kami harus mengendarai sepeda motor menembus kabut dan dinginnya angin pagi Dieng. Aku membawa perbekalan nasi yang kami beli kemaren dan beberapa makanan ringan. Tidak lupa juga memakai jas hujan untuk menghalau udara dingin, kami mulai menjalankan sepeda motor dikegelapan pagi. Ternyata di jalan menuju Sikunir, banyak sekali kendaraan seperti bus, mobil elf, ataupun mobil pribadi yang juga seperti kami menembus gelap dan dinginnya udara pagi. Sepertinya pendakian kali ini akan ramai. Setelah sampai di Desa Sembungan, hari ini kami semua membayar tiket masuk desa termasuk tiket pendakian dan tiket parkir. Di dalam Desa Sembungan banyak orang yang menginap dan memilih berjalan kaki menuju pos titik pendakian awal. Kami memarkirkan kendaraan di area parkir yang ternyata sudah penuh dengan hiruk pikuk orang dan kendaraan besar. Lapangan parkir yang semalam sangat sepi ternyata pagi ini dipenuhi dengan para pengunjung yang akan naik. Di dalam kawasan parkir terdapat warung yang menjual kebutuhan pokok seperti snack dan minuman hangat, juga terdapat fasilitas toilet dan mushola. Beberapa rumah penduduk juga menawarkan fasilitas tersebut. Kami segera menyimpan peralatan di dalam bagasi motor dan bersiap untuk naik. Banyak pengunjung yang kelihatannya sudah berjalan mendaki. Pagi ini suasana mendaki betul-betul seperti ada di pasar, pengunjungnya membludak dan penuh sesak. Jarak antara satu orang dengan orang lainnya hampir tidak ada. Untuk berjalan harus mengikuti orang yang di depan karena banyak yang berjalan sangat lamban sementara bercengkrama dengan kawan mereka. Pendakian yang betul-betul baru pertama kali aku alami dengan pengunjung yang penuh.

Meskipun begitu, track menanjak untuk mencapi puncak Sikunir memang tidak terhindarkan. Hampir semua jalanan tidak ada yang datar. Awalnya kami melewati tanjakan yang dikanan kirinya banyak kios-kios penjual makanan ringan seperti kentang rebus dan tempe kemul yang masih tutup. Jalannya cukup nyaman meski menanjak tajam karena sudah dilapisi dengan rabat beton. Setelah kios tersebut mulai hilang, jalur yang kami lewati digantikan dengan jalur tanah yang berdebu. Sangat berdebu. Disarankan apabila mendaki puncak Sikunir di musim kemarau sebaiknya membawa masker atapun kain untuk pelindung pernapasan karena pengunjung yang penuh menjejakkan kakinya dan debu yang beterbangan. Diantara celoteh riang pengunjung, teriakan-teriakan pemandu wisata dalam grup yang menyemangati, dinginnya udara pagi, dan debu yang beterbangan kami semua menapaki satu per satu jalur setapak menanjak seraya beristirahat sejenak apabila kelelahan. Di penghujung jalur menuju puncak, terdapat jalanan berbatu yang licin dan sangat curam sehingga aku berpikir saat turun harus ekstra berhati-hati. Sekitar satu jam perjalanan kami tiba di puncak, menunggu waktunya langit Dieng menunjukkan Golden Sunrise di Puncak Sikunir. 

Suasana di puncak tidak berbeda dengan di area parkir, semua sudut penuh dengan lautan manusia. Hanya ada sedikit lahan datar yang dipergunakan bagi semua pengunjung untuk menunggu matahari terbit. Di sebelah kanan dan kiri kami semua jurang yang cukup dalam. Di bagian puncak ini terdapat fasilitas seperti gazebo, mushola, dan toilet. Tidak ada pedagang makanan yang berjualan diatas. Sekitar pukul 05.00 matahari pagi mulai sedikit menampakkan sinarnya hingga membuat semburat keemasan di langit depan kami saat ini. Bulan purnama yang terang di belakang kami seakan berganti menyambut matahari yang akan segera muncul di ufuk timur. Awan-awan di bawah yang menggumpal bak kapas masih terlihat pekat. Membuatku betul-betul merasakan berada di negeri diatas awan. Puncak gunung Sindoro yang berdiri kokoh terlihat jelas tanpa tertutup kabut, dilatarbelakangi warna langit keemasan, sinar mentari yang terlihat hangat malu-malu naik kepermukaan terasa menghangatkan dinginnya pagi kala itu. Pepohonan dan kumpulan manusia di kejauhan yang terbentuk seperti siluet menambah keindahan momen matahari terbit pagi ini. Mungkin memang seperti ini mengagumi indahnya lukisan alam, golden Sunrise Sikunir.

Foto Golden Sunrise Sikunir

Saat mentari sudah mulai tinggi, aku tersadar harus segera turun sebelum jalur turun kami berubah menjadi lautan manusia seperti saat naik tadi.  Meski belum puas dan tidak akan pernah puas untuk menikmati matahari terbit di salah satu puncak tertinggi di Jawa. Perjalanan turun tidak seberat perjalanan naik. Hanya sedikit mengatur langkah untukku yang kesulitan turun daripada naik karena medan yang sangat curam. Akan tetapi perjalanan turun kali ini lebih mudah karena suasana sudah terang dan jalanan jelas terlihat tidak seperti pagi tadi.

Sesampainya di sekitar area parkir, matahari sudah cukup tinggi mungkin sekitar pukul 07.00 pagi. Aku yang sudah lapar dari sejak pagi sudah menghabiskan beberapa camilan ringan diatas meski tidak ada minuman hangat. Aku berpikir bahwa untuk pendakian sunrise selanjutnya mungkin bisa membawa termos berisi teh atau kopi panas untuk dinikmati di puncak. Kawanku yang belum makan sesuatu dari tadi pagi memutuskan untuk membeli sedikit camilan sambil menikmati ramainya suasana setelah pendakian. Ternyata di sepanjang jalan menuju area parkir terdapat banyak kios pedagang camilan. Tadi pagi saat berangkat belum terlihat geliat pedagang yang menjajakan dagangannya. Akan tetapi setelah kami turun, semua pedagang sudah siap dengan menu andalan masing-masing. Rata-rata yang dijual adalah oleh-oleh khas Dieng seperti carica, kentang yang belum diolah (masih mentah), buah terong belanda. Sedangkan untuk makanan sebagai camilan, hampir semua pedagang menjual kentang yang direbus dengan gula merah. Selain itu juga terdapat mie instan, tempe kemul (mendoan), teh ataupun kopi panas. Ada beberapa pedagang juga yang menjual nasi goreng. Kami memutuskan untuk memesan kentang yang direbus dengan gula merah dan tempe kemul ditemani teh manis panas. Rasanya gorengan tempedan the panas terasa sangat enak di lidah. Lain dengan rasa kentang gula merah. Mungkin memang kurang cocok dengan lidah kami, akan tetapi karena perut lapar hampir setengah porsi kentang tersebut habis kami lahap. Banyak pendaki yang duduk di warung-warung sekedar mengisi perut mereka setelah turun dari puncak Sikunir seperti kami.

 
Foto kentang, komoditas pertanian, dan tempe kemul 

Begitu keluar dari kawasan parkir Sikunir, diatas motor sewaan kami, baru disadari kalau sebelumnya kami melewati telaga yang sering disebut Telaga Cebong. Kami tidak menyadarinya 2 kali saat kami datang karena datang pada malam hari dan pagi hari saat gelap. Meski begitu, tidak banyak pengunjung yang menghabiskan waktu di pinggir telaga karena terlihat sama dengan beberapa telaga yang kami kunjungi kemarin. Kami memutuskan untuk segera menuju tujuan kami selanjutnya yaitu Batu Pandang Ratapan Angin. Perjalanan menuju tempat tersebut ditempuh sekitar 45 menit kembali ke kawasan utama wisata Dieng. Tempatnya tidak jauh dari Telaga Warna. Inilah menyenangkannya wisata di Dieng karena kawasan wisatanya berada di satu tempat dan tidak perlu berkendara terlalu jauh. Menuju Batu Pandang Ratapan Angin, sebelumnya kami memasuki kompleks Dieng Plateau Theater. Sebuah tempat berupa aula yang besar tempat mempertontonkan film sejarah geologis dan budaya dari kawasan Dieng. Saat kami tiba, kebetulan filmnya baru saja mulai dan harus menunggu satu jam lagi untuk giliran berikutnya. Meskipun sangat tertarik, aku memutuskan untuk tidak menonton karena waktu kami yang terbatas. Sore ini kami harus kembali ke Purwokerto untuk mengejar kereta kembali ke Jakarta. Akhirnya kami masuk ke kawasan Batu Pandang Ratapan Angin. Kawasan ini sangat rapi dan kelihatan dikelola dengan baik. Meski jalan setapaknya juga memperlihatkan tanah yang berdebu, para pengelola menyiraminya dengan baik sehingga debu tidak beterbangan keatas. Jalur trekking untuk menikkmati pemandangan juga tidak terlalu terjal dan sangat dekat dari kawasan parkir. Tempat ini sangat ramah terhadap pengunjung dengan usia tua ataupun anak-anak kecil. Di tempat ini pengunjung dapat berfoto dengan latar belakang alam Dieng yang berbukit-bukit dari atas. Dikejauhan terlihat lansekap Dieng dan pemandangan utamanya adalah Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang terlihat dari atas. Pemandangan kedua telaga tersebut jauh lebih indah dari atas daripada di kawasan wisata telaga seperti yang kami lihat kemarin. 
 

Foto Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari puncak Batu Ratapan Angin



Foto bunga Daisy dan Tulip di kawasan wisata Batu Pandang Ratapan Angin

Wisata lainnya yang tidak jauh dari daerah ini adalah Kawah Sikidang. Kami sudah cukup puas mengelilingi kawah, telaga, dan pemandangan Dieng sehingga kurang tertarik lagi dengan kawah Sikidang. Tetapi, bagi pengunjung yang melewatkan sisi petualangan dan trekking dari Dieng, mungkin akan jadi tujuan wajib untuk berkunjung ke Kawah Sikidang. Kawah ini sudah kami lihat dari beberapa spot seperti Puncak Pangonan, bahkan di sepanjang jalan menuju Candi Arjuna kami juga melewatk kawah ini. Kawah Sikidang masih sangat aktif dan menyemburkan kandungan gas belerang yang cukup tinggi. Dikejauhan terlihat asap mengepul dan berbau busuk setiap pengunjung yang datang. Ada yang merebus telur ayam, berfoto bersama burung hantu, ataupun berswafoto ria di beberapa spot.


Foto kawah Sikidang

Yang tidak kalah menarik di kawasan kawah Sikidang adalah mengularnya tenda-tenda terpal berwarna warni penjual oleh-oleh khas Dieng. Bisa disebut pasar karena banyak pengunjung yang datang kesini membeli oleh-oleh khas di kawasan ini. Diantara toko-toko yang berjajar ini biasanya menjual manisan carica, aneka kerupuk dan keripik singkong atau kentang, kentang Dieng yang belum diolah, suvenir bunga Edelweis, dan masih banyak makanan ringan lainnya.


Foto suvenir khas Dieng

Tempat wisata terakhir yang kami kunjungi adalah kawasan Candi peninggalan Hindu di Dieng. Letaknya berseberangan dengan museum arkeologi yang banyak berisi batu-batu besar, arca, dan peninggalan bercorak Hindu. Disini terdapat beberapa candi yang dinamai sesuai dengan dewa-dewa dalam mitologi Hindu seperti Arjuna, Gatotkaca, Bima, Sembadra, Srikandi, dan yang lainnya. Candi di kawasan ini sudah tidak dipergunakan lagi dan menjadi monumen bahwa dahulu pernah menjadi salah satu pusat peradaban Hindu-Budha di Jawa sekitar abad ke-8. Material candi sudah banyak diganti, hanya saja direstorasi sesuai dengan bentuk aslinya.

 

Foto Candi Arjuna dan Relief

Dengan mengunjungi Candi tersebut, perjalanan kami kali ini ke Dieng juga harus berakhir karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Kami harus segera berangkat menuju Purwokerto apabila tidak ingin ketinggalan kereta yang membawa kami menuju Jakarta. Kami kembali ke homestay dan mengemasi barang-barang sebelum berakhirnya masa checkout. Pukul 12.30 kami akhirnya menjalankan motor sewaan keluar dari Dieng menuju kota Wonosobo. Sepertinya makan siang akan kami lakukan di kota Wonosobo sembari melepas penat. Perjalanan pulang kembali akan kami tempuh selama 3 jam kembali ke kawasan Purwokerto. Kami juga menyewa sebuah penginapan kecil dekat stasiun Purwokerto untuk membersihkan diri dan melepas lelah sebelum kereta kami berangkat kembali ke Jakarta sekitar tengah malam. Dieng, sebuah pengalaman yang indah memang seperti negeri diatas awan, seperti arti sebutannya, negeri para dewa.

 
Foto : SN
Text : PA  

2 komentar:

michelle mengatakan...

test

michelle mengatakan...

Numpang promo ya Admin^^
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^